Kamis, 19 September 2013

PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANA DILIHAT DARI SUDUT HUKUM PIDANA

Oleh : 
Feri Antoni Surbakti, SH., M.H.

Posisi korban dalam suatu tindak pidana mengandung masalah hukum yang tidak mudah dipecahkan dari sudut hukum. Masalah kepentingan korban sejak lama sudah kurang begitu mendapatkan perhatian, hal ini dikarenakan objek perhatian masih terfokus kepada bagaimana memberikan hukuman kepada pelaku tindak pidana (tersangka/terdakwa) sehingga masalah-masalah mengenai korban tindak pidana luput dari  perhatian.

Di lihat dari Ideologi negara kita yang berdasar hukum, negara kita memandang komitmen bahwa setiap orang harus diberlakukan baik dan adil, apakah ia dalam  posisi sebagai pelaku tindak  pidana atau sebagai korban tindak pidana. Perikemanusiaan sebagai salah satu sendi nilai falsafah negara Pancasila, yang menjiwai seluruh keberadaan hukum di Negara kita, mulai dari UUD 45 hingga kepada peraturan perundang-undangan.

Namun, apakah penyelenggaraan hukum melalui produk peraturan perundang-undangan sudah benar-benar melakukan hal yang demikian. Hal inilah yang perlu dikaji kembali khususnya terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang merupakan landasan dasar dari penyelenggaraan sistem peradilan pidana.

Masalah yang muncul dan masih merupakan persoalan klasik, bahwa sistim peradilan pidana sebagai basis penyelenggaraan perkara pidana tidak mengakui eksistensi korban sebagai pencari keadilan. Memang, jika kita lihat kepentingan korban telah terwakili oleh alat negara yaitu polisi dan jaksa baik sebagai penyelidik, penyidik dan penuntut umum. Akan tetapi hubungan korban tindak pidana, disatu pihak dengan polisi dan jaksa tersebut hanyalah merupakan hubungan yang bersifat simbolik sementara hubungan antara pelaku tindak pidana (terdakwa) dengan penasihat hukum terdakwa secara prinsip adalah murni hubungan hukum antara pengguna jasa hukum dengan pemberi kuasa yang diatur dalam hukum perdata dan penasihat hukum bertindak langsung untuk dan atas nama pelaku tindak pidana. Sedangkan Polisi dan Jaksa, sekalipun dalam hal ini telah mewakili kepentingan korban tindak pidana tetapi disini kedudukan Polisi dan Jaksa bertindak semata-mata hanya menjalankan tugas negara.

Melihat kenyataan yang demikian  inilah, sudah sepatutnya perlu untuk dikaji kembali terhadap sistem peradilan pidana kita yang harus dilihat dari optik kepentingan yang lebih luas bukan saja menekankan kepada kepentingan pelaku tindak pidana melainkan juga menyeluruh kepada kepentingan korban tindak pidana. Karenanya perlindungan hukum yang diberikan oleh KUHAP, lebih banyak melindungi hak-hak asasi pelaku daripada hak-hak atau kepentingan korban tindak pidana. Artinya, sistem yang dianut oleh KUHAP masih bersifat restributif justice dan bukannya bersifat restorative justice.


Kepentingan Korban Dilihat Dari Viktomologi

Masalah kepentingan korban tindak pidana, pada prinsipnya merupakan bagian integral dari persoalan hak asasi manusia pada umumnya. Prinsip universal sebagaimana yang termuat dalam The Universal Declaration of Human Rights, mengakui bahwa semua orang adalah sama terhadap undang-undang dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa pengakuan diskriminasi apapun.

Dari prinsip Hak Asasi Manusia diatas, terdapat nilai-nilai yang mengandung hak-hak korban dari tindakan perlakuan pelanggaran hukum. Hak-hak korban tersebut diantaranya : (1) korban berhak mendapatkan kompensasi/restitusi, (2) berhak menolak kompensasi untuk kepentingan pelaku kejahatan, (3) berhak mendapatkan rehabilitasi/pembinaan, (4) berhak menolak menjadi saksi bila membahayakan dirinya atau keluarganya, (5) berhak mendapatkan perlindungan dari ancaman pelaku kejahatan, dan (6) berhak mempergunakan upaya hukum.

Perkembangan hak-hak korban secara viktomologi, tergantung dari ketanggapan suatu negara guna merespon hukumnya kepada kepentingan-kepentingan hak asasi  manusia dari korban tindak pidana. Viktomologi sendiri, adalah studi ilmiah yang mempelajari masalah korban tindak pidana sebagai suatu kenyataan sosial. Viktomologi pada dasarnya merupakan bagian dari kriminologi yang merupakan studi ilmiah yang mempelajari pelaku tindak pidana.

Aspek viktomologi dalam hukum nasional, dapat dilihat terutama dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Peradilan HAM. Dalam mengimplementasikan peraturan perundang-undangan tersebut, telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2000, Tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi terhadap korban pelanggaran HAM berat.

Bila dicermati lebih kritis, pengaturan yang dituangkan dalam peraturan pemerintah diatas masih belum begitu eksplisit merujuk pada viktomologi yang berdimensi korban tindak pidana. Sebab, bila dilihat mengenai perumusan tentang pengertian korban sebagaimana yang dimuat Pasal 1 butir 3, korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi atau mengalami pengabaian pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat termasuk korban adalah ahli warisnya.

Persoalannya, adalah apakah masalah kepentingan korban tindak pidana biasa termasuk kedalam persoalan HAM. Karena jika termasuk demikian maka korban-korban tindak pidana termasuk pula sebagai kompetensi peradilan HAM. Masalah ini perlu mendapat kajian khusus supaya pengertian korban seperti ini mendapatkan kedudukan yang jelas dalam persfektif hukum.

Usaha untuk memperdayakan korban tindak pidana dalam sistem peradilan pidana diharapkan pada masalah yang mendasar yakni eksistensi dan posisi korban tindak pidana dalam sistem peradilan pidana itu sendiri. Selama ini jika disebut sebagai korban, bahwa korban hanya dilihat sebagai saksi korban. Artinya korban bukan merupakan bagian dari sistem peradilan pidana seperti halnya terdakwa. Akibatnya korban tidak mempunyai upaya hukum apabila ia keberatan terhadap putusan pengadilan yang dirasakan tidak adil bagi dirinya atau merugikannya. Sedangkan Jaksa selaku penuntut umum tidak merespon ketidakpuasan korban tindak pidana tersebut, dengan tidak mengajukan upaya hukum.

Apabila ditelusuri lebih jauh, bahwa perumusan ini pun masih mengalami jalan yang tidak mulus, sebab diwarnai pro dan kontra terutama mengenai masalah masuknya kepentingan korban tindak pidana dalam sistem proses pidana akan mempersulit dan tidak akan sesuai dengan prinsip keadilan yang cepat dan  murah serta sederhana.

Kepentingan korban pada kenyataannya kurang mendapatkan perhatian yang serius dan sepertinya terlupakan, padahal dalam suatu tindak pidana tidak akan lepas adanya objek korban. Sebab, korban sudah dipastikan mempunyai kedudukan fungsional dalam terjadinya kejahatan sebagai pihak yang menderita kerugian baik materi dan psikologis sehingga sudah selayaknya kepentingan hukumnya ditempatkan dengan baik dan menurut proporsi yang sebenarnya.


Kepentingan Hukum Korban Di Tinjau Dari KUHAP

Apabila kita lihat mengenai hak-hak korban tindak pidana dalam KUHAP, maka didapati pengaturan mengenai hak-hak korban yang begitu minim sekali jika dibandingkan dengan pengaturan tentang hak-hak pelaku kejahatan. Dengan kata lain, bahwa perlindungan hukum lebih banyak diatur untuk pelaku tindak pidana sebagaimana yang kita lihat dalam KUHAP itu sendiri dibandingkan dengan kepentingan korban yang mengalami penderitaan dari perbuatan tindak pidana itu.

Sebagai contoh, dalam sebuah putusan Mahkamah Agung RI No. 2107 K/Pid/1987 dalam perkara penganiayaan dimana Mahmakah Agung RI telah membatalkan Putusan hakim yang sebelumnya yang menjatuhkan terdakwa dengan putusan  bersyarat berupa mengganti biaya ongkos opname yang dikeluarkan korban. Pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusannya tersebut di dasarkan pada Pasal 98 KUHAP dimana korban tidak mengajukan tuntutan ganti rugi.

Dari Putusan Mahkamah Agung tersebut, maka ada beberapa hal yang dapat dicatat yaitu pertama, Mahkamah Agung tidak  dapat membantu posisi korban dalam putusannya karena didasarkan pada legalitas, dan kedua, Mahkamah Agung dalam putusannya tidak bisa keluar dari prosedur hukum yang teah digariskan oleh KUHAP sehingga kepentingan korban terbatas dengan apa yang telah ditentukan oleh KUHAP itu sendiri.

Disisi lain, dari segi upaya hukum pun korban tindak pidana di dalam perkara penggabungan perkara ganti kerugian sangat tidak diuntungkan dikarenakan apabila korban tindak pidana tidak puas atas  putusan pengadilan negeri mengenai tuntutan ganti rugi. Korban tindak pidana tidak dapat mengajukan upaya hukum banding bilamana Jaksa Penuntut Umum tidak mengajukan banding terhadap putusan Pengadilan Negeri tersebut (  Pasal 100 ayat (2) KUHAP ).

Sebenarnya, minimnya suatu peraturan perundang-undangan menurut teori dapat ditempuh dengan bantuan yurisprudensi. Namun dalam praktek dilapangan, tidak selamanya yurisprudensi tersebut diberlakukan, sebab di Indonesia yurisprudensi tidak bersifat mengikat. Jadi hal itu tergantung pada masing-masing hakim apakah yurisprudensi diberlakukan di dalam putusannya atas perkara yang dihadapkan kepadanya untuk  dijadikan sebagai dasar hukum atau tidak.

Banyaknya hak korban dalam konteks hukum acara yang belum diatur dan bahkan pengaturannya yang kembali merugikan kepentingan korban sehingga posisi korban yang sudah menjadi korban dalam suatu tindak pidana, pada proses penegakan hukumnya kembali menjadi korban dan menderita kerugian. Untuk itu perlu ada pengaturan hukum dalam kaitannya dengan hukum acara yang lebih jelas dan tegas guna mengakomodir kepentingan hukum korban. 



    



 

Sabtu, 07 September 2013

HAKIM SEBAGAI PEMBENTUK HUKUM DALAM KONTEKS PENEMUAN HUKUM DAN PENCIPTAAN HUKUM

Oleh :
Feri Antoni Surbakti, SH.,M.H.

Pendahuluan

Pemikiran tentang hukum dalam beberapa tahun terakhir ini telah banyak mengalami perubahan sebagai akibat dari perubahan besar dalam masyarakat, teknologi dan tekanan-tekanan yang disebabkan pertambahan penduduk. Hukum sebagai kaidah sosial, tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku disuatu masyarakat. Bahkan dapat di katakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.

Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat, tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Indonesia sebagai negara hukum yang menganut sistim “civil law”, yang merupakan warisan dari kolonial Belanda semenjak ratusan tahun yang lalu. Dalam sistim civil law ini, hukum yang tertulis adalah merupakan primadona sebagai sumber hukum.

Selama ini, baik dalam wacana akademik maupun dalam politik hukum lazim didapati suatu kata ungkapan yaitu “ hukum sebagai sarana atau hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat “. Ungkapan tersebut terkait dengan konsep Roscoo Pound yang menyebutkan hukum sebagai alat rekayasa sosial (law as tools social of enggineering).

Secara sepintas, ungkapan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat adalah tidak terlepas dari terjemahan law as tools social of enggineering, tetapi secara substantif ada perbedaan sehingga dikatakan serupa tapi tak sama. Konsep roscoo pound, hukum sebagai alat rekayasa sosial pada hakikatnya tidak terlepas dari prinsip Judge Made Law (hakim sebagai pembaharu) sebagai sumber utama dalam kaidah hukum sistim common law. Namun tidak demikian halnya, dengan konsep hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat. 

Konsep hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Muchtar Kusumaatmaja bahwa sumber utama kaidah hukum itu di Indonesia adalah hukum yang tertulis atau undang-undang atau peraturan perundang-undangan.


Hakim sebagai Pembentuk Hukum

Konsep hakim sebagai mulutnya undang-undang, pada dasarnya merupakan turunan yang menghendaki hukum hanyalah undang-undang atau hukum tertulis yang tersusun lengkap dalam kitab undang-undang. Hal ini ditandai dengan adanya aliran legisme (positivisme), yang tidak mengakui hukum diluar undang-undang.
Dalam tradisi anglo saxon, sumber kaidah hukum yang utama adalah berakar pada putusan-putusan hakim yang bersifat mengikat. Sedangkan dalam tradisi kontinental yurisprudensi, justru tidak mengikat. Seorang hakim bebas memutus (membuat suatu putusan) tanpa memiliki kewajiban untuk mengikuti putusan-putusan hakim yang terdahulu. Hal ini juga menimbulkan ketidakpastian. Disamping konsep hakim sebagai corong undang-undang tidak terlaksana dengan baik sebagaimana mestinya. Sebagai akibat, bahwa hukum yang tertulis itu tidak pernah disusun secara lengkap. Padahal, hakim itu memiliki kekuasaan terhadap masalah-masalah yang dihadapkan kepadanya.

Fungsi hakim dalam menerapkan hukum apa adanya, pada hakekatnya menempatkan hakim semata-mata “memberikan tempat” atas suatu peristiwa hukum yang terjadi sesuai dengan aturan yang telah ada. Fungsi ini tidak lebih, hakim itu seperti layaknya seorang “penjahit” (tailor) yang menjahit bagian-bagian yang sudah ditempatkan. Berbeda halnya dengan seorang designer. Karakter hakim yang seperti penjahit, sehingga membuat hakim dalam putusannya tidak pernah memiliki suatu kreasi.

Tugas hakim pada dasarnya adalah memberikan keputusan dalam setiap perkara yang dihadapkan kepadanya, menetapkan hal-hal seperti hubungan hukum, nilai-nilai hukum daripada perilaku, serta kedudukan hukum para pihak yang terlibat dalam suatu perkara yang dihadapkan kepadanya.

Untuk dapat menyelesaikan konflik secara imparsial berdasarkan hukum yang berlaku, para hakim harus selalu mandiri dan bebas dari pengaruh pihak manapun termasuk  pemerintah sekalipun dalam mengambil keputusan. Para hakim hanya terikat pada fakta-fakta yang relevan dan kaidah hukum yang menjadi atau dijadikan landasan yuridis keputusannya.


Hakim Sebagai Penemu dan Penciptaan Hukum

Mengapa perlu penemuan hukum ? sebagaimana yang diuraikan diatas, bahwa dalam kenyataanya menunjukan, hampir tidak ada suatu peristiwa hukum yang terjadi di dalam praktek kehidupan masyarakat yang terlukiskan/tersusun secara tepat di dalam suatu kaidah hukum (undang-undang). Melihat kenyataan yang demikian ini, hakim senantiasa harus mencari kelengkapan dengan menemukan hukum itu sendiri. Oleh karenanya, hakim wajib memberikan suatu penemuan hukum atas suatu peristiwa hukum dengan menterjemahkan atau memberikan makna agar suatu aturan hukum sesuai dengan peristiwa hukum yang terjadi.

Sudikno Mertokusumo menyatakan, kegiatan kehidupan manusia itu sangat luas. Tidak terhitung jumlah dan jenisnya. Sehingga tidak mungkin tercakup dalam semua peraturan perundang-undangan dengan tuntas dan jelas. Oleh karenanya wajar, kalau tidak ada peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup keseluruhan kehidupan manusia. Dengan demikian, dikarenakan hukumnya tidak jelas, maka harus dicari dan ditemukan.

Dalam rangka fungsi hakim guna menemukan dan menciptakan hukum, ada beberapa metode melakukan penemuan hukum itu yaitu, pertama, dengan melakukan penafsiran analogi, kedua, melakukan perluasan dan penghalusan hukum, dan ketiga, melakukan penafsiran a countrario. Metode ini dipergunakaan dengan memperhatikan keperluan dalam rangka menemukan makna yang tepat agar tujuan undang-undang atau peraturan perundang-undangan dapat tercermin secara tepat, benar, adil serta wajar dalam memecahkan suatu peristiwa hukum. 

Menemukan dan menciptakan hukum harus pula dikonstruksikan sebagai upaya hakim yang harus memutus terhadap suatu perkara yang dihadapkan kepadanya, aturan hukum yang ada tidak tersedia untuk dijadikan sebagai dasar. Dengan demikian, tugas hakim dalam menemukan dan  menciptakan hukum diperlukan bilamana terjadi kekosongan hukum. Perluasan ini, sekaligus memberi arti bahwa pengertian hukum tidak semata-mata hanyalah hukum yang tertulis (undang-undang), tetapi juga yurisprudensi dan hukum yang tidak tertulis lainnya.

Selama ini, baik dalam wacana akademik maupun dilapangan praktik hukum, kurang sekali perhatian terhadap peranan hakim sebagai instrumen pembaharu hukum. Seperti dikemukakan diatas, undang-undanglah yang dianggap sebagai instrumen paling utama dalam pembaharuan undang-undang. Oleh karenanya menanamkan pengertian kepada aparat penegak hukum kita khususnya para hakim, pada umumnya tidak boleh dipandang sebagai suatu yang berdiri sendiri. Hal yang sangat penting adalah mengubah orientasi dan metode pendidikan tinggi hukum, tanpa perubahan orientasi dan metode pendidikan tinggi hukum, para sarjana hukum tidak cukup dibekali mengenai peranan besar yang diharapkan.