Oleh :
Feri Antoni Surbakti, SH.,M.H.
Pendahuluan
Pemikiran tentang hukum dalam beberapa tahun terakhir ini telah banyak mengalami perubahan sebagai akibat dari perubahan besar dalam masyarakat, teknologi dan tekanan-tekanan yang disebabkan pertambahan penduduk. Hukum sebagai kaidah sosial, tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku disuatu masyarakat. Bahkan dapat di katakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat, tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Indonesia sebagai negara hukum yang menganut sistim “civil law”, yang merupakan warisan dari kolonial Belanda semenjak ratusan tahun yang lalu. Dalam sistim civil law ini, hukum yang tertulis adalah merupakan primadona sebagai sumber hukum.
Selama ini, baik dalam wacana akademik maupun dalam politik hukum lazim didapati suatu kata ungkapan yaitu “ hukum sebagai sarana atau hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat “. Ungkapan tersebut terkait dengan konsep Roscoo Pound yang menyebutkan hukum sebagai alat rekayasa sosial (law as tools social of enggineering).
Secara sepintas, ungkapan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat adalah tidak terlepas dari terjemahan law as tools social of enggineering, tetapi secara substantif ada perbedaan sehingga dikatakan serupa tapi tak sama. Konsep roscoo pound, hukum sebagai alat rekayasa sosial pada hakikatnya tidak terlepas dari prinsip Judge Made Law (hakim sebagai pembaharu) sebagai sumber utama dalam kaidah hukum sistim common law. Namun tidak demikian halnya, dengan konsep hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat.
Konsep hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Muchtar Kusumaatmaja bahwa sumber utama kaidah hukum itu di Indonesia adalah hukum yang tertulis atau undang-undang atau peraturan perundang-undangan.
Hakim sebagai Pembentuk Hukum
Konsep hakim sebagai mulutnya undang-undang, pada dasarnya merupakan turunan yang menghendaki hukum hanyalah undang-undang atau hukum tertulis yang tersusun lengkap dalam kitab undang-undang. Hal ini ditandai dengan adanya aliran legisme (positivisme), yang tidak mengakui hukum diluar undang-undang.
Dalam tradisi anglo saxon, sumber kaidah hukum yang utama adalah berakar pada putusan-putusan hakim yang bersifat mengikat. Sedangkan dalam tradisi kontinental yurisprudensi, justru tidak mengikat. Seorang hakim bebas memutus (membuat suatu putusan) tanpa memiliki kewajiban untuk mengikuti putusan-putusan hakim yang terdahulu. Hal ini juga menimbulkan ketidakpastian. Disamping konsep hakim sebagai corong undang-undang tidak terlaksana dengan baik sebagaimana mestinya. Sebagai akibat, bahwa hukum yang tertulis itu tidak pernah disusun secara lengkap. Padahal, hakim itu memiliki kekuasaan terhadap masalah-masalah yang dihadapkan kepadanya.
Fungsi hakim dalam menerapkan hukum apa adanya, pada hakekatnya menempatkan hakim semata-mata “memberikan tempat” atas suatu peristiwa hukum yang terjadi sesuai dengan aturan yang telah ada. Fungsi ini tidak lebih, hakim itu seperti layaknya seorang “penjahit” (tailor) yang menjahit bagian-bagian yang sudah ditempatkan. Berbeda halnya dengan seorang designer. Karakter hakim yang seperti penjahit, sehingga membuat hakim dalam putusannya tidak pernah memiliki suatu kreasi.
Tugas hakim pada dasarnya adalah memberikan keputusan dalam setiap perkara yang dihadapkan kepadanya, menetapkan hal-hal seperti hubungan hukum, nilai-nilai hukum daripada perilaku, serta kedudukan hukum para pihak yang terlibat dalam suatu perkara yang dihadapkan kepadanya.
Untuk dapat menyelesaikan konflik secara imparsial berdasarkan hukum yang berlaku, para hakim harus selalu mandiri dan bebas dari pengaruh pihak manapun termasuk pemerintah sekalipun dalam mengambil keputusan. Para hakim hanya terikat pada fakta-fakta yang relevan dan kaidah hukum yang menjadi atau dijadikan landasan yuridis keputusannya.
Hakim Sebagai Penemu dan Penciptaan Hukum
Mengapa perlu penemuan hukum ? sebagaimana yang diuraikan diatas, bahwa dalam kenyataanya menunjukan, hampir tidak ada suatu peristiwa hukum yang terjadi di dalam praktek kehidupan masyarakat yang terlukiskan/tersusun secara tepat di dalam suatu kaidah hukum (undang-undang). Melihat kenyataan yang demikian ini, hakim senantiasa harus mencari kelengkapan dengan menemukan hukum itu sendiri. Oleh karenanya, hakim wajib memberikan suatu penemuan hukum atas suatu peristiwa hukum dengan menterjemahkan atau memberikan makna agar suatu aturan hukum sesuai dengan peristiwa hukum yang terjadi.
Sudikno Mertokusumo menyatakan, kegiatan kehidupan manusia itu sangat luas. Tidak terhitung jumlah dan jenisnya. Sehingga tidak mungkin tercakup dalam semua peraturan perundang-undangan dengan tuntas dan jelas. Oleh karenanya wajar, kalau tidak ada peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup keseluruhan kehidupan manusia. Dengan demikian, dikarenakan hukumnya tidak jelas, maka harus dicari dan ditemukan.
Dalam rangka fungsi hakim guna menemukan dan menciptakan hukum, ada beberapa metode melakukan penemuan hukum itu yaitu, pertama, dengan melakukan penafsiran analogi, kedua, melakukan perluasan dan penghalusan hukum, dan ketiga, melakukan penafsiran a countrario. Metode ini dipergunakaan dengan memperhatikan keperluan dalam rangka menemukan makna yang tepat agar tujuan undang-undang atau peraturan perundang-undangan dapat tercermin secara tepat, benar, adil serta wajar dalam memecahkan suatu peristiwa hukum.
Menemukan dan menciptakan hukum harus pula dikonstruksikan sebagai upaya hakim yang harus memutus terhadap suatu perkara yang dihadapkan kepadanya, aturan hukum yang ada tidak tersedia untuk dijadikan sebagai dasar. Dengan demikian, tugas hakim dalam menemukan dan menciptakan hukum diperlukan bilamana terjadi kekosongan hukum. Perluasan ini, sekaligus memberi arti bahwa pengertian hukum tidak semata-mata hanyalah hukum yang tertulis (undang-undang), tetapi juga yurisprudensi dan hukum yang tidak tertulis lainnya.
Selama ini, baik dalam wacana akademik maupun dilapangan praktik hukum, kurang sekali perhatian terhadap peranan hakim sebagai instrumen pembaharu hukum. Seperti dikemukakan diatas, undang-undanglah yang dianggap sebagai instrumen paling utama dalam pembaharuan undang-undang. Oleh karenanya menanamkan pengertian kepada aparat penegak hukum kita khususnya para hakim, pada umumnya tidak boleh dipandang sebagai suatu yang berdiri sendiri. Hal yang sangat penting adalah mengubah orientasi dan metode pendidikan tinggi hukum, tanpa perubahan orientasi dan metode pendidikan tinggi hukum, para sarjana hukum tidak cukup dibekali mengenai peranan besar yang diharapkan.
Feri Antoni Surbakti, SH.,M.H.
Pendahuluan
Pemikiran tentang hukum dalam beberapa tahun terakhir ini telah banyak mengalami perubahan sebagai akibat dari perubahan besar dalam masyarakat, teknologi dan tekanan-tekanan yang disebabkan pertambahan penduduk. Hukum sebagai kaidah sosial, tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku disuatu masyarakat. Bahkan dapat di katakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat, tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Indonesia sebagai negara hukum yang menganut sistim “civil law”, yang merupakan warisan dari kolonial Belanda semenjak ratusan tahun yang lalu. Dalam sistim civil law ini, hukum yang tertulis adalah merupakan primadona sebagai sumber hukum.
Selama ini, baik dalam wacana akademik maupun dalam politik hukum lazim didapati suatu kata ungkapan yaitu “ hukum sebagai sarana atau hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat “. Ungkapan tersebut terkait dengan konsep Roscoo Pound yang menyebutkan hukum sebagai alat rekayasa sosial (law as tools social of enggineering).
Secara sepintas, ungkapan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat adalah tidak terlepas dari terjemahan law as tools social of enggineering, tetapi secara substantif ada perbedaan sehingga dikatakan serupa tapi tak sama. Konsep roscoo pound, hukum sebagai alat rekayasa sosial pada hakikatnya tidak terlepas dari prinsip Judge Made Law (hakim sebagai pembaharu) sebagai sumber utama dalam kaidah hukum sistim common law. Namun tidak demikian halnya, dengan konsep hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat.
Konsep hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Muchtar Kusumaatmaja bahwa sumber utama kaidah hukum itu di Indonesia adalah hukum yang tertulis atau undang-undang atau peraturan perundang-undangan.
Hakim sebagai Pembentuk Hukum
Konsep hakim sebagai mulutnya undang-undang, pada dasarnya merupakan turunan yang menghendaki hukum hanyalah undang-undang atau hukum tertulis yang tersusun lengkap dalam kitab undang-undang. Hal ini ditandai dengan adanya aliran legisme (positivisme), yang tidak mengakui hukum diluar undang-undang.
Dalam tradisi anglo saxon, sumber kaidah hukum yang utama adalah berakar pada putusan-putusan hakim yang bersifat mengikat. Sedangkan dalam tradisi kontinental yurisprudensi, justru tidak mengikat. Seorang hakim bebas memutus (membuat suatu putusan) tanpa memiliki kewajiban untuk mengikuti putusan-putusan hakim yang terdahulu. Hal ini juga menimbulkan ketidakpastian. Disamping konsep hakim sebagai corong undang-undang tidak terlaksana dengan baik sebagaimana mestinya. Sebagai akibat, bahwa hukum yang tertulis itu tidak pernah disusun secara lengkap. Padahal, hakim itu memiliki kekuasaan terhadap masalah-masalah yang dihadapkan kepadanya.
Fungsi hakim dalam menerapkan hukum apa adanya, pada hakekatnya menempatkan hakim semata-mata “memberikan tempat” atas suatu peristiwa hukum yang terjadi sesuai dengan aturan yang telah ada. Fungsi ini tidak lebih, hakim itu seperti layaknya seorang “penjahit” (tailor) yang menjahit bagian-bagian yang sudah ditempatkan. Berbeda halnya dengan seorang designer. Karakter hakim yang seperti penjahit, sehingga membuat hakim dalam putusannya tidak pernah memiliki suatu kreasi.
Tugas hakim pada dasarnya adalah memberikan keputusan dalam setiap perkara yang dihadapkan kepadanya, menetapkan hal-hal seperti hubungan hukum, nilai-nilai hukum daripada perilaku, serta kedudukan hukum para pihak yang terlibat dalam suatu perkara yang dihadapkan kepadanya.
Untuk dapat menyelesaikan konflik secara imparsial berdasarkan hukum yang berlaku, para hakim harus selalu mandiri dan bebas dari pengaruh pihak manapun termasuk pemerintah sekalipun dalam mengambil keputusan. Para hakim hanya terikat pada fakta-fakta yang relevan dan kaidah hukum yang menjadi atau dijadikan landasan yuridis keputusannya.
Hakim Sebagai Penemu dan Penciptaan Hukum
Mengapa perlu penemuan hukum ? sebagaimana yang diuraikan diatas, bahwa dalam kenyataanya menunjukan, hampir tidak ada suatu peristiwa hukum yang terjadi di dalam praktek kehidupan masyarakat yang terlukiskan/tersusun secara tepat di dalam suatu kaidah hukum (undang-undang). Melihat kenyataan yang demikian ini, hakim senantiasa harus mencari kelengkapan dengan menemukan hukum itu sendiri. Oleh karenanya, hakim wajib memberikan suatu penemuan hukum atas suatu peristiwa hukum dengan menterjemahkan atau memberikan makna agar suatu aturan hukum sesuai dengan peristiwa hukum yang terjadi.
Sudikno Mertokusumo menyatakan, kegiatan kehidupan manusia itu sangat luas. Tidak terhitung jumlah dan jenisnya. Sehingga tidak mungkin tercakup dalam semua peraturan perundang-undangan dengan tuntas dan jelas. Oleh karenanya wajar, kalau tidak ada peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup keseluruhan kehidupan manusia. Dengan demikian, dikarenakan hukumnya tidak jelas, maka harus dicari dan ditemukan.
Dalam rangka fungsi hakim guna menemukan dan menciptakan hukum, ada beberapa metode melakukan penemuan hukum itu yaitu, pertama, dengan melakukan penafsiran analogi, kedua, melakukan perluasan dan penghalusan hukum, dan ketiga, melakukan penafsiran a countrario. Metode ini dipergunakaan dengan memperhatikan keperluan dalam rangka menemukan makna yang tepat agar tujuan undang-undang atau peraturan perundang-undangan dapat tercermin secara tepat, benar, adil serta wajar dalam memecahkan suatu peristiwa hukum.
Menemukan dan menciptakan hukum harus pula dikonstruksikan sebagai upaya hakim yang harus memutus terhadap suatu perkara yang dihadapkan kepadanya, aturan hukum yang ada tidak tersedia untuk dijadikan sebagai dasar. Dengan demikian, tugas hakim dalam menemukan dan menciptakan hukum diperlukan bilamana terjadi kekosongan hukum. Perluasan ini, sekaligus memberi arti bahwa pengertian hukum tidak semata-mata hanyalah hukum yang tertulis (undang-undang), tetapi juga yurisprudensi dan hukum yang tidak tertulis lainnya.
Selama ini, baik dalam wacana akademik maupun dilapangan praktik hukum, kurang sekali perhatian terhadap peranan hakim sebagai instrumen pembaharu hukum. Seperti dikemukakan diatas, undang-undanglah yang dianggap sebagai instrumen paling utama dalam pembaharuan undang-undang. Oleh karenanya menanamkan pengertian kepada aparat penegak hukum kita khususnya para hakim, pada umumnya tidak boleh dipandang sebagai suatu yang berdiri sendiri. Hal yang sangat penting adalah mengubah orientasi dan metode pendidikan tinggi hukum, tanpa perubahan orientasi dan metode pendidikan tinggi hukum, para sarjana hukum tidak cukup dibekali mengenai peranan besar yang diharapkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar