Oleh : Feri Antoni Surbakti, SH.,M.H.
Sesuai dengan hakekatnya, bahwa manusia itu dilahirkan dan diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa Lokasi untuk berpasang-pasangan. Berpasang-pasangan tersebut, akhirnya terjalinya suatu ikatan diantara kedua insan manusia yaitu “perkawinan”. Dewasa ini pada masyarakat sekarang, suatu perkawinan dianggap sah apabila telah mendapatkan pengakuan dari Negara. Cara untuk mendapatkan pengakuan itu sering berbeda-beda diantara Negara yang satu dengan Negara yang lain. Perkawinan itu sendiri sering pula diteguhkan dengan adanya upacara perkawinan.
Negara Republik Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila pertama adalah ketuhanan yang maha esa maka perkawinan itu dianggap erat hubungannya dengan agama sehingga perkawinan bukan saja mengandung unsur lahir/jasmani tetapi unsur agama juga mempunyai peranan penting. Terlebih sejak lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, menyatakan perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing sesuai dengan keyakinannya. Dengan demikian, pelaksanaan perkawinan dilakukan menurut agama merupakan syarat mutlak untuk menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan.
Mengingat di Negara Republik Indonesia hidup serta diakui berbagai macam agama, maka tidak mengherankan bilamana kita sering menjumpai atau mendengar adanya perkawinan yang dilakukan orang-orang yang berbeda-beda agama, baik yang satu beragama islam sedangkan yang satu lagi beragama kristen. Di Indonesia, perkawinan antar agama semacam ini telah mulai banyak dilakukan dan terkesan mulai berkembang. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sendiri, tidak mengatur secara tegas tentang masalah perkawinan antar (beda) agama. Oleh karenanya, timbul pertanyaan “Apakah perkawinan antar (beda) agama dapat dibenarkan dan diperbolehkan ? “.
Mengacu pada ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaanya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, pada dasarnya masalah perkawinan antar (beda) agama tidak diatur secara tegas. Namun demikian, bila diteliti dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat dijadikan pedoman yakni sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaan masing-masing. Hal ini berarti, undang-undang menyerahkan sepenuhnya pelaksanaan perkawinan itu kepada ketentuan agama yang dianut oleh kedua calon mempelai. Dengan kata lain, untuk menentukan sah atau tidaknya perkawinan itu selain tergantung pada ketentuan Undang-undang perkawinan sendiri maka juga ditentukan dalam hukum agama.
Pada dasarnya, menurut ketentuan hukum agama yang hidup dan berlaku di Indonesia, baik Agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindhu dan Budha bahwasanya pelaksanaan perkawinan antar (beda) agama tetap tidak diperbolehkan. Terutama menurut agama Islam, bahwa perkawinan itu adalah pelaksanaan, peningkatan dan penyempurnaan ibadah kepada Allah Swt dalam hubungan antara dua jenis manusia, pria dan wanita yang satu sama lain memerlukan untuk kelangsungan hidupnya. Dengan demikian, menurut hukum islam perkawinan itu mempunyai unsur-unsur ibadah. Hukum Islam sendiri, mensyaratkan mutlak terhadap calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan itu harus menganut akidah yang sama. Artinya kedua mempelai harus mempunyai keyakinan yang sama, selain mengacu pada rukun perkawinan yang terdapat pada syariat hukum Islam.
Ketika pada masyarakat sekarang ini, melihat perkawinan itu dianggap sah apabila mendapatkan adanya pengakuan dari negara sedangkan cara untuk mendapatkan pengakuan dari negara tersebut berbeda-beda antara negara yang satu dengan negara yang lain dan Negara Republik Indonesia, tidak mengenal adanya perkawinan antar (beda) agama. Timbul permasalahan, bagaimana ketika ada warga negara Indonesia yang satu beragama kristen dan yang satu beragama Islam telah melangsungkan perkawinan di luar dari Indonesia ? Apakah perkawinan mereka itu dianggap sah oleh Negara ? Dan bagaimana dengan keturunan mereka, agama apa yang dianutnya ?
Pasal 56 ayat (1) Undang-undang Perkawinan, menyatakan perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara warga negara Indonesia atau seorang warga Negera Indonesia dengan salah satu warga negara asing adalah sah, bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan undang-undang ini. Melihat pada ketentuan Pasal 56 ayat (1) tersebut, maka ketika ada terjadi permasalahan diatas disini secara langsung Negara telah mengakui perkawinan tersebut. Namun demikian, disisi lain undang-undang perkawinan mengacu pada Pasal 2 ayat (1) tidak mengenal dan tidak mengakui adanya perkawinan antar (beda) agama. Hal inilah yang harus diperhatikan oleh Pemerintah dan perlu penanganannya secara serius guna dicari pemecahannya. Karena masalah perkawinan bukan hanya masalah kepentingan privat, melainkan sudah masuk keranah publik termasuk urusannya dengan Pemerintah.
Negara Republik Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila pertama adalah ketuhanan yang maha esa maka perkawinan itu dianggap erat hubungannya dengan agama sehingga perkawinan bukan saja mengandung unsur lahir/jasmani tetapi unsur agama juga mempunyai peranan penting. Terlebih sejak lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, menyatakan perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing sesuai dengan keyakinannya. Dengan demikian, pelaksanaan perkawinan dilakukan menurut agama merupakan syarat mutlak untuk menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan.
Mengingat di Negara Republik Indonesia hidup serta diakui berbagai macam agama, maka tidak mengherankan bilamana kita sering menjumpai atau mendengar adanya perkawinan yang dilakukan orang-orang yang berbeda-beda agama, baik yang satu beragama islam sedangkan yang satu lagi beragama kristen. Di Indonesia, perkawinan antar agama semacam ini telah mulai banyak dilakukan dan terkesan mulai berkembang. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sendiri, tidak mengatur secara tegas tentang masalah perkawinan antar (beda) agama. Oleh karenanya, timbul pertanyaan “Apakah perkawinan antar (beda) agama dapat dibenarkan dan diperbolehkan ? “.
Mengacu pada ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaanya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, pada dasarnya masalah perkawinan antar (beda) agama tidak diatur secara tegas. Namun demikian, bila diteliti dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat dijadikan pedoman yakni sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaan masing-masing. Hal ini berarti, undang-undang menyerahkan sepenuhnya pelaksanaan perkawinan itu kepada ketentuan agama yang dianut oleh kedua calon mempelai. Dengan kata lain, untuk menentukan sah atau tidaknya perkawinan itu selain tergantung pada ketentuan Undang-undang perkawinan sendiri maka juga ditentukan dalam hukum agama.
Pada dasarnya, menurut ketentuan hukum agama yang hidup dan berlaku di Indonesia, baik Agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindhu dan Budha bahwasanya pelaksanaan perkawinan antar (beda) agama tetap tidak diperbolehkan. Terutama menurut agama Islam, bahwa perkawinan itu adalah pelaksanaan, peningkatan dan penyempurnaan ibadah kepada Allah Swt dalam hubungan antara dua jenis manusia, pria dan wanita yang satu sama lain memerlukan untuk kelangsungan hidupnya. Dengan demikian, menurut hukum islam perkawinan itu mempunyai unsur-unsur ibadah. Hukum Islam sendiri, mensyaratkan mutlak terhadap calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan itu harus menganut akidah yang sama. Artinya kedua mempelai harus mempunyai keyakinan yang sama, selain mengacu pada rukun perkawinan yang terdapat pada syariat hukum Islam.
Ketika pada masyarakat sekarang ini, melihat perkawinan itu dianggap sah apabila mendapatkan adanya pengakuan dari negara sedangkan cara untuk mendapatkan pengakuan dari negara tersebut berbeda-beda antara negara yang satu dengan negara yang lain dan Negara Republik Indonesia, tidak mengenal adanya perkawinan antar (beda) agama. Timbul permasalahan, bagaimana ketika ada warga negara Indonesia yang satu beragama kristen dan yang satu beragama Islam telah melangsungkan perkawinan di luar dari Indonesia ? Apakah perkawinan mereka itu dianggap sah oleh Negara ? Dan bagaimana dengan keturunan mereka, agama apa yang dianutnya ?
Pasal 56 ayat (1) Undang-undang Perkawinan, menyatakan perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara warga negara Indonesia atau seorang warga Negera Indonesia dengan salah satu warga negara asing adalah sah, bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan undang-undang ini. Melihat pada ketentuan Pasal 56 ayat (1) tersebut, maka ketika ada terjadi permasalahan diatas disini secara langsung Negara telah mengakui perkawinan tersebut. Namun demikian, disisi lain undang-undang perkawinan mengacu pada Pasal 2 ayat (1) tidak mengenal dan tidak mengakui adanya perkawinan antar (beda) agama. Hal inilah yang harus diperhatikan oleh Pemerintah dan perlu penanganannya secara serius guna dicari pemecahannya. Karena masalah perkawinan bukan hanya masalah kepentingan privat, melainkan sudah masuk keranah publik termasuk urusannya dengan Pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar