Oleh :
Feri Antoni Surbakti, SH.,M.H.
Feri Antoni Surbakti, SH.,M.H.
Dewasa ini kita sering mendengar perkataan korupsi dan yang tergambarkan oleh masyarakat bahwa korupsi itu adalah adanya pejabat pemerintah yang mengambil uang negara untuk kepentingan pribadinya. Disisi lain, kita juga sering mendengar kata-kata slogan “berantas korupsi, adili para koruptor dan sebagainya”. Slogan-slogan seperti ini terus kita dengar di Republik ini, namun bagaimana dengan penegakan hukum terhadap korupsi itu sendiri. Dan apakah pemberantasan korupsi di Indonesia, cukup dengan adanya slogan-slogan yang demikian ?
Di Indonesia perkembangan korupsi, tumbuh dan merajalela. Ibarat penyakit, maka korupsi pun menjadi wabah sehingga korupsi terus merebak dan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Seperti layaknya, jamur tumbuh dimusim hujan. Maraknya korupsi yang terjadi di Indonesia, bukan lagi persoalan membudaya tetapi melainkan sudah menjadi membudidaya. Hal ini terlihat dari banyaknya tindak pidana korupsi yang terjadi sudah semakin meluas, masuk kedalam semua aspek bidang dan sektor pembangunan.
Perkembangan korupsi yang demikian itulah, akhirnya mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia. Akhir-akhir ini tindak perilaku korupsi semakin marak dipublikasikan baik di media cetak maupun media elektronik. Upaya-upaya pemberantasan korupsi di Indonesia terus dilakukan oleh Pemerintah melalui aparatur penegak hukumnya dan terhadap pelaku koruptor tersebut telah banyak pula mendapatkan putusan pengadilan. Tetapi hingga kini, pemberantasan korupsi tersebut belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Hal ini dengan banyaknya kasus-kasus korupsi yang terjadi semakin hari semakin meningkat pula. Mengapa ?
Di Sumatera Utara khususnya, penyidikan terhadap kasus-kasus korupsi telah banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum misalnya kasus korupsi Bendahara Biro Umum Pemprov Sumut, dugaan Korupsi di Politeknik Negeri Medan, dugaan korupsi Dispora Sumut dan sebagainya serta sebahagian dari penanganan perkara kasus korupsi tersebut telah pula mendapatkan putusan pengadilan. Namun penegakan hukum terhadap korupsi tersebut belum memberikan kepuasan bagi kita semua. Hal ini ditandai dengan banyaknya putusan-putusan pengadilan Tipikor Medan, yang menimbulkan kontraversial seperti halnya kasus korupsi Kepala Dinas PU Deliserdang dengan terdakwa “ Ir. Faisal “ dimana kerugian negera 105 M. Dalam kasus ini Jaksa Penutut umum menuntut terdakwa 8 Tahun Penjara, akan tetapi putusan Majelis hakim pengadilan Tipikor Medan yang diketuai oleh Denny L Tobing, SH menjatuhkan putusan kepada terdakwa hanya 18 Bulan Penjara denda Rp. 50 Juta subs 1 bulan Penjara. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor ini, sangat jauh dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
Bahkan ada putusan Pengadilan Tipikor Medan yang membebaskan pelaku koruptor seperti yang terjadi pada kasus Walikota Medan “Rahudman Harahap”. Rahudman Harahap di duga melakukan tindak pidana korupsi Anggaran Tunjangan Penghasilan Aparatur Pemerintahan Desa (TPAPD) Tahun 2005 sebesar Rp. 1,5 M. Pada kasus Rahudman Harahap, Tim Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara menuntut Rahudman Harahap 4 Tahun Penjara Denda Rp. 500 Juta Subs 6 Bulan Penjara dan membayar Uang Pengganti sebesar Rp. 480,4 Juta Subs 2 Tahun Penjara. Namun Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara Rahudman Harahap tersebut yang diketuai oleh Hakim Sugiyanto, SH dalam amar putusannya menyatakan Rahudman Harahap tidak terbukti bersalah sehinggga membebaskannya dari segala tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
Dari contoh Penegakan hukum yang demikian diatas, jelas sangat bertolak belakang dengan visi dan misi Pemerintah dalam melakukan pemberantasan korupsi. Persepsi diantara sistem peradilan pidana di dalam melakukan pemberantasan korupsi tidak memiliki visi dan misi yang sama. Hal ini tentunya sangat dilematis dan memperihatinkan, ketika bangsa dan Negara ini memiliki keinginan untuk melakukan pemberantasan terhadap pelaku koruptor dimuka bumi pertiwi.
Tidak konsistennya aparat penegak penegak hukum tersebut, tidak menutup kemungkinan dilatar belakangi adanya sikap oknum aparat penegak hukum yang masih dinodai dengan perbuatan yang tidak terpuji. Lalu, bagaimana dengan sikap Pemerintah selanjutnya dalam menghadapi tidak konsistennya aparat penegak hukum dalam melakukan pemberantasan korupsi ? Dan apakah pemberantasan korupsi di Indonesia hanya antara harapan dan kenyataan ? Tentunya hal ini akan menjadi perhatian kita semua !
Di Indonesia perkembangan korupsi, tumbuh dan merajalela. Ibarat penyakit, maka korupsi pun menjadi wabah sehingga korupsi terus merebak dan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Seperti layaknya, jamur tumbuh dimusim hujan. Maraknya korupsi yang terjadi di Indonesia, bukan lagi persoalan membudaya tetapi melainkan sudah menjadi membudidaya. Hal ini terlihat dari banyaknya tindak pidana korupsi yang terjadi sudah semakin meluas, masuk kedalam semua aspek bidang dan sektor pembangunan.
Perkembangan korupsi yang demikian itulah, akhirnya mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia. Akhir-akhir ini tindak perilaku korupsi semakin marak dipublikasikan baik di media cetak maupun media elektronik. Upaya-upaya pemberantasan korupsi di Indonesia terus dilakukan oleh Pemerintah melalui aparatur penegak hukumnya dan terhadap pelaku koruptor tersebut telah banyak pula mendapatkan putusan pengadilan. Tetapi hingga kini, pemberantasan korupsi tersebut belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Hal ini dengan banyaknya kasus-kasus korupsi yang terjadi semakin hari semakin meningkat pula. Mengapa ?
Di Sumatera Utara khususnya, penyidikan terhadap kasus-kasus korupsi telah banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum misalnya kasus korupsi Bendahara Biro Umum Pemprov Sumut, dugaan Korupsi di Politeknik Negeri Medan, dugaan korupsi Dispora Sumut dan sebagainya serta sebahagian dari penanganan perkara kasus korupsi tersebut telah pula mendapatkan putusan pengadilan. Namun penegakan hukum terhadap korupsi tersebut belum memberikan kepuasan bagi kita semua. Hal ini ditandai dengan banyaknya putusan-putusan pengadilan Tipikor Medan, yang menimbulkan kontraversial seperti halnya kasus korupsi Kepala Dinas PU Deliserdang dengan terdakwa “ Ir. Faisal “ dimana kerugian negera 105 M. Dalam kasus ini Jaksa Penutut umum menuntut terdakwa 8 Tahun Penjara, akan tetapi putusan Majelis hakim pengadilan Tipikor Medan yang diketuai oleh Denny L Tobing, SH menjatuhkan putusan kepada terdakwa hanya 18 Bulan Penjara denda Rp. 50 Juta subs 1 bulan Penjara. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor ini, sangat jauh dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
Bahkan ada putusan Pengadilan Tipikor Medan yang membebaskan pelaku koruptor seperti yang terjadi pada kasus Walikota Medan “Rahudman Harahap”. Rahudman Harahap di duga melakukan tindak pidana korupsi Anggaran Tunjangan Penghasilan Aparatur Pemerintahan Desa (TPAPD) Tahun 2005 sebesar Rp. 1,5 M. Pada kasus Rahudman Harahap, Tim Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara menuntut Rahudman Harahap 4 Tahun Penjara Denda Rp. 500 Juta Subs 6 Bulan Penjara dan membayar Uang Pengganti sebesar Rp. 480,4 Juta Subs 2 Tahun Penjara. Namun Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara Rahudman Harahap tersebut yang diketuai oleh Hakim Sugiyanto, SH dalam amar putusannya menyatakan Rahudman Harahap tidak terbukti bersalah sehinggga membebaskannya dari segala tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
Dari contoh Penegakan hukum yang demikian diatas, jelas sangat bertolak belakang dengan visi dan misi Pemerintah dalam melakukan pemberantasan korupsi. Persepsi diantara sistem peradilan pidana di dalam melakukan pemberantasan korupsi tidak memiliki visi dan misi yang sama. Hal ini tentunya sangat dilematis dan memperihatinkan, ketika bangsa dan Negara ini memiliki keinginan untuk melakukan pemberantasan terhadap pelaku koruptor dimuka bumi pertiwi.
Tidak konsistennya aparat penegak penegak hukum tersebut, tidak menutup kemungkinan dilatar belakangi adanya sikap oknum aparat penegak hukum yang masih dinodai dengan perbuatan yang tidak terpuji. Lalu, bagaimana dengan sikap Pemerintah selanjutnya dalam menghadapi tidak konsistennya aparat penegak hukum dalam melakukan pemberantasan korupsi ? Dan apakah pemberantasan korupsi di Indonesia hanya antara harapan dan kenyataan ? Tentunya hal ini akan menjadi perhatian kita semua !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar