Minggu, 25 Agustus 2013

HUBUNGAN HUKUM ANTARA DOKTER DAN PASIEN DALAM TRANSAKSI TERAPUETIK

Oleh :
Feri Antoni Surbakti, SH.,M.H.

PENDAHULUAN

Profesi kedokteran merupakan salah satu profesi yang menjadi sorotan masyarakat. Sorotan masyarakat ini, sebenarnya sebagai pertanda banyaknya masyarakat yang merasa tidak puas atas pelayanan kesehatan yang diberikan. Hal ini tidak terlepas dari permasalahan-permasalahan yang muncul dalam bidang kesehatan yang terjadi di kehidupan sehari-hari sebagaimana yang kita lihat dalam berbagai pemberitaan oleh media. Banyaknya kritikan masyarakat tersebut, merupakan sesuatu hal yang wajar sebagai akibat tidak terlaksananya dengan baik atas pemberian pelayanan kesehatan yang diberikan oleh dokter dan atau institusi tenaga kesehatan itu sendiri.
Dalam era reformasi sekarang ini, hukum memegang peranan penting dalam berbagai segi kehidupan masyarakat dan bernegara. Pada dasarnya, kebijaksanaan pembangunan kesehatan bertumpu pada upaya pengobatan dan pemulihan kesehatan, yang kemudian bergeser pada upaya penyelenggaraan kesehatan secara menyeluruh dengan menekankan pada upaya pencegahan dan peningkatan kesehatan. Guna mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi setiap orang, yang merupakan bagian integral dari kesejahteraan diperlukan dukungan hukum dalam penyelenggaran berbagai kegiatan khususnya dibidang kesehatan.  

Pola Hubungan Antara Dokter Dengan Pasien

Hubungan antara dokter dengan pasien, telah terjadi sejak dahulu. Dokter dianggap sebagai seseorang yang memberikan pengobatan terhadap orang yang membutuhkannya. Hubungan hukum antara Dokter dengan pasien, berawal dari pola hubungan vertikal paternalistik layaknya bapak dan anak yang bertolak pada prinsip “ Father knows best “ dimana seorang dokter dianggap lebih mengetahui dan mampu untuk mengobati atas penyakit yang diderita oleh pasien. Sehingga, kedudukan dokter lebih tinggi daripada kedudukan pasien dan dokter memiliki peranan penting. Di dalam perkembangannya, pola hubungan antara dokter dan pasien yang demikian tersebut, lambat laun telah mengalami pergeseran kearah yang lebih demokratis yaitu hubungan horizontal kontraktual atau partisipasi bersama. Kedudukan dokter tidak lagi dianggap lebih tinggi daripada pasien melainkan kedudukan dokter dan pasien dalam hubungannya tersebut sudah seimbang/sederajat. Pasien tidak lagi dianggap sebagai objek hukum tetapi pasien sudah sebagai subjek hukum. Segala sesuatunya dikomunikasikan diantara kedua belah pihak sehingga menghasilkan keputusan yang saling menguntungkan diantara kedua belah pihak, baik dokter sebagai pemberi pelayanan kesehatan maupun si pasien sendiri selaku penerima pelayanan kesehatan.
Hubungan antara dokter dan pasien, merupakan hubungan hukum yang didasarkan pada transaksi terapeutik. Dikatakan demikian, karena adanya kesanggupan dari dokter untuk mengupayakan kesehatan atau dokter berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan penyembuhan si pasien dari penderitaan sakitnya. Penegasan mengenai hubungan ini sebagai suatu perjanjian (transaksi) dapat dilihat pada alinea pertama Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI).  Oleh karenanya, hubungan hukum antara dokter dan pasien yang demikian lazim disebut sebagai perjanjian yang bersifat Inspaningverbintenis.
Timbulnya hubungan hukum antara dokter dan pasien, dalam praktik sehari-hari dapat disebabkan dalam berbagai hal. Hubungan itu terjadi antara lain disebabkan pasien yang mendatangi dokter untuk meminta pertolongan agar menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Keadaan ini terjadi adanya persetujuan kehendak diantara kedua belah pihak. Hubungan hukum ini bersumber pada kepercayaan si pasien kepada dokter, sehingga si pasien bersedia memberikan persetujuan kepada dokter untuk melakukan tindakan medis ( Informed Consent ). Secara yuridis, Informed Consent dalam pelayanan kesehatan telah memperoleh pembenaran melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 585/Menkes/1989. Di sisi lain, alasan lain yang menyebabkan timbulnya hubungan antara dokter dengan pasien adalah karena keadaan mendesak untuk segera mendapatkan pertolongan dari dokter. Misalnya, dalam keadaan terjadinya kecelakaan lalu lintas ataupun karena adanya situasi lain yang menyebabkan keadaan pasien sudah gawat (emergency) dimana dokter langsung dapat melakukan tindakan. Keadaan seperti ini yang disebut dengan Zaakwaarneming sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1354 KUHPerdata. Dengan demikian, selain hubungan hukum antara dokter dan pasien terbentuk karena transaksi terapuetik (Ius Contracto), maka hubungan hukum antara dokter dan pasien juga bisa terbentuk didasarkan pada zaakwaarneming dan atau disebabkan karena undang-undang ( Ius delicto ). hubungan hukum antara dokter dan pasien yang seperti ini merupakan salah satu ciri dari transaksi terapeutik yang membedakan dengan perjanjian (transaksi) pada umumnya sebagaimana yang diatur dalam KUHPerdata.            

Perikatan Antara Dokter dan Pasien

Hubungan dokter dan pasien yang didasarkan pada transaksi terapeutik, pada prinsipnya harus tetap memperhatikan objek sahnya suatu perjanjian sebagaimana yang dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, yang unsur-unsurnya sebagai berikut :
1.    Adanya kesepakatan dari mereka yang saling mengikatkan dirinya (Toesteming van degene die zich verbiden) ;
2.    Adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan ( de bekwaamheid om eene verbitenis aan te gaan ) ;
3.    Mengenai sesuatu hal tertentu  ( een bepaald onderwerp )
4.    Suatu sebab yang halal atau diperbolehkan ( eene geoorloofdeoorzaak ) 

Hubungan antara dokter dan pasien atau lazim disebut dengan perjanjian (transaksi) terapeutik dikatagorikan pada perjanjian Inspaningverbitenis (suatu perikatan upaya). Seorang dokter berkewajiban di dalam memberikan pelayanan kesehatan harus dengan penuh kesungguhan, dengan mengerahkan seluruh kemampuannya sesuai dengan standar ilmu pengetahuan kedokteran yang baik. Sehingga yang dituntut dari dokter adalah upaya maksimal dalam melakukan terapi yang tepat guna kesembuhan pasien. Penyimpangan yang dilakukan oleh seorang dokter dari prosedur medis, maka bisa saja dokter telah melakukan cidera janji (wanprestasi) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1329 KUHPerdata dan apabila tindakan dokter tersebut berakibat merugikan pasien dan merupakan perbuatan yang melawan hukum, sehingga ketentuan Pasal 1365 dan Pasal 1366 KUHPerdata sebagai dasar untuk mengajukan tuntutan.     

   



Tidak ada komentar:

Posting Komentar