Kamis, 19 September 2013

PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANA DILIHAT DARI SUDUT HUKUM PIDANA

Oleh : 
Feri Antoni Surbakti, SH., M.H.

Posisi korban dalam suatu tindak pidana mengandung masalah hukum yang tidak mudah dipecahkan dari sudut hukum. Masalah kepentingan korban sejak lama sudah kurang begitu mendapatkan perhatian, hal ini dikarenakan objek perhatian masih terfokus kepada bagaimana memberikan hukuman kepada pelaku tindak pidana (tersangka/terdakwa) sehingga masalah-masalah mengenai korban tindak pidana luput dari  perhatian.

Di lihat dari Ideologi negara kita yang berdasar hukum, negara kita memandang komitmen bahwa setiap orang harus diberlakukan baik dan adil, apakah ia dalam  posisi sebagai pelaku tindak  pidana atau sebagai korban tindak pidana. Perikemanusiaan sebagai salah satu sendi nilai falsafah negara Pancasila, yang menjiwai seluruh keberadaan hukum di Negara kita, mulai dari UUD 45 hingga kepada peraturan perundang-undangan.

Namun, apakah penyelenggaraan hukum melalui produk peraturan perundang-undangan sudah benar-benar melakukan hal yang demikian. Hal inilah yang perlu dikaji kembali khususnya terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang merupakan landasan dasar dari penyelenggaraan sistem peradilan pidana.

Masalah yang muncul dan masih merupakan persoalan klasik, bahwa sistim peradilan pidana sebagai basis penyelenggaraan perkara pidana tidak mengakui eksistensi korban sebagai pencari keadilan. Memang, jika kita lihat kepentingan korban telah terwakili oleh alat negara yaitu polisi dan jaksa baik sebagai penyelidik, penyidik dan penuntut umum. Akan tetapi hubungan korban tindak pidana, disatu pihak dengan polisi dan jaksa tersebut hanyalah merupakan hubungan yang bersifat simbolik sementara hubungan antara pelaku tindak pidana (terdakwa) dengan penasihat hukum terdakwa secara prinsip adalah murni hubungan hukum antara pengguna jasa hukum dengan pemberi kuasa yang diatur dalam hukum perdata dan penasihat hukum bertindak langsung untuk dan atas nama pelaku tindak pidana. Sedangkan Polisi dan Jaksa, sekalipun dalam hal ini telah mewakili kepentingan korban tindak pidana tetapi disini kedudukan Polisi dan Jaksa bertindak semata-mata hanya menjalankan tugas negara.

Melihat kenyataan yang demikian  inilah, sudah sepatutnya perlu untuk dikaji kembali terhadap sistem peradilan pidana kita yang harus dilihat dari optik kepentingan yang lebih luas bukan saja menekankan kepada kepentingan pelaku tindak pidana melainkan juga menyeluruh kepada kepentingan korban tindak pidana. Karenanya perlindungan hukum yang diberikan oleh KUHAP, lebih banyak melindungi hak-hak asasi pelaku daripada hak-hak atau kepentingan korban tindak pidana. Artinya, sistem yang dianut oleh KUHAP masih bersifat restributif justice dan bukannya bersifat restorative justice.


Kepentingan Korban Dilihat Dari Viktomologi

Masalah kepentingan korban tindak pidana, pada prinsipnya merupakan bagian integral dari persoalan hak asasi manusia pada umumnya. Prinsip universal sebagaimana yang termuat dalam The Universal Declaration of Human Rights, mengakui bahwa semua orang adalah sama terhadap undang-undang dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa pengakuan diskriminasi apapun.

Dari prinsip Hak Asasi Manusia diatas, terdapat nilai-nilai yang mengandung hak-hak korban dari tindakan perlakuan pelanggaran hukum. Hak-hak korban tersebut diantaranya : (1) korban berhak mendapatkan kompensasi/restitusi, (2) berhak menolak kompensasi untuk kepentingan pelaku kejahatan, (3) berhak mendapatkan rehabilitasi/pembinaan, (4) berhak menolak menjadi saksi bila membahayakan dirinya atau keluarganya, (5) berhak mendapatkan perlindungan dari ancaman pelaku kejahatan, dan (6) berhak mempergunakan upaya hukum.

Perkembangan hak-hak korban secara viktomologi, tergantung dari ketanggapan suatu negara guna merespon hukumnya kepada kepentingan-kepentingan hak asasi  manusia dari korban tindak pidana. Viktomologi sendiri, adalah studi ilmiah yang mempelajari masalah korban tindak pidana sebagai suatu kenyataan sosial. Viktomologi pada dasarnya merupakan bagian dari kriminologi yang merupakan studi ilmiah yang mempelajari pelaku tindak pidana.

Aspek viktomologi dalam hukum nasional, dapat dilihat terutama dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Peradilan HAM. Dalam mengimplementasikan peraturan perundang-undangan tersebut, telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2000, Tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi terhadap korban pelanggaran HAM berat.

Bila dicermati lebih kritis, pengaturan yang dituangkan dalam peraturan pemerintah diatas masih belum begitu eksplisit merujuk pada viktomologi yang berdimensi korban tindak pidana. Sebab, bila dilihat mengenai perumusan tentang pengertian korban sebagaimana yang dimuat Pasal 1 butir 3, korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi atau mengalami pengabaian pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat termasuk korban adalah ahli warisnya.

Persoalannya, adalah apakah masalah kepentingan korban tindak pidana biasa termasuk kedalam persoalan HAM. Karena jika termasuk demikian maka korban-korban tindak pidana termasuk pula sebagai kompetensi peradilan HAM. Masalah ini perlu mendapat kajian khusus supaya pengertian korban seperti ini mendapatkan kedudukan yang jelas dalam persfektif hukum.

Usaha untuk memperdayakan korban tindak pidana dalam sistem peradilan pidana diharapkan pada masalah yang mendasar yakni eksistensi dan posisi korban tindak pidana dalam sistem peradilan pidana itu sendiri. Selama ini jika disebut sebagai korban, bahwa korban hanya dilihat sebagai saksi korban. Artinya korban bukan merupakan bagian dari sistem peradilan pidana seperti halnya terdakwa. Akibatnya korban tidak mempunyai upaya hukum apabila ia keberatan terhadap putusan pengadilan yang dirasakan tidak adil bagi dirinya atau merugikannya. Sedangkan Jaksa selaku penuntut umum tidak merespon ketidakpuasan korban tindak pidana tersebut, dengan tidak mengajukan upaya hukum.

Apabila ditelusuri lebih jauh, bahwa perumusan ini pun masih mengalami jalan yang tidak mulus, sebab diwarnai pro dan kontra terutama mengenai masalah masuknya kepentingan korban tindak pidana dalam sistem proses pidana akan mempersulit dan tidak akan sesuai dengan prinsip keadilan yang cepat dan  murah serta sederhana.

Kepentingan korban pada kenyataannya kurang mendapatkan perhatian yang serius dan sepertinya terlupakan, padahal dalam suatu tindak pidana tidak akan lepas adanya objek korban. Sebab, korban sudah dipastikan mempunyai kedudukan fungsional dalam terjadinya kejahatan sebagai pihak yang menderita kerugian baik materi dan psikologis sehingga sudah selayaknya kepentingan hukumnya ditempatkan dengan baik dan menurut proporsi yang sebenarnya.


Kepentingan Hukum Korban Di Tinjau Dari KUHAP

Apabila kita lihat mengenai hak-hak korban tindak pidana dalam KUHAP, maka didapati pengaturan mengenai hak-hak korban yang begitu minim sekali jika dibandingkan dengan pengaturan tentang hak-hak pelaku kejahatan. Dengan kata lain, bahwa perlindungan hukum lebih banyak diatur untuk pelaku tindak pidana sebagaimana yang kita lihat dalam KUHAP itu sendiri dibandingkan dengan kepentingan korban yang mengalami penderitaan dari perbuatan tindak pidana itu.

Sebagai contoh, dalam sebuah putusan Mahkamah Agung RI No. 2107 K/Pid/1987 dalam perkara penganiayaan dimana Mahmakah Agung RI telah membatalkan Putusan hakim yang sebelumnya yang menjatuhkan terdakwa dengan putusan  bersyarat berupa mengganti biaya ongkos opname yang dikeluarkan korban. Pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusannya tersebut di dasarkan pada Pasal 98 KUHAP dimana korban tidak mengajukan tuntutan ganti rugi.

Dari Putusan Mahkamah Agung tersebut, maka ada beberapa hal yang dapat dicatat yaitu pertama, Mahkamah Agung tidak  dapat membantu posisi korban dalam putusannya karena didasarkan pada legalitas, dan kedua, Mahkamah Agung dalam putusannya tidak bisa keluar dari prosedur hukum yang teah digariskan oleh KUHAP sehingga kepentingan korban terbatas dengan apa yang telah ditentukan oleh KUHAP itu sendiri.

Disisi lain, dari segi upaya hukum pun korban tindak pidana di dalam perkara penggabungan perkara ganti kerugian sangat tidak diuntungkan dikarenakan apabila korban tindak pidana tidak puas atas  putusan pengadilan negeri mengenai tuntutan ganti rugi. Korban tindak pidana tidak dapat mengajukan upaya hukum banding bilamana Jaksa Penuntut Umum tidak mengajukan banding terhadap putusan Pengadilan Negeri tersebut (  Pasal 100 ayat (2) KUHAP ).

Sebenarnya, minimnya suatu peraturan perundang-undangan menurut teori dapat ditempuh dengan bantuan yurisprudensi. Namun dalam praktek dilapangan, tidak selamanya yurisprudensi tersebut diberlakukan, sebab di Indonesia yurisprudensi tidak bersifat mengikat. Jadi hal itu tergantung pada masing-masing hakim apakah yurisprudensi diberlakukan di dalam putusannya atas perkara yang dihadapkan kepadanya untuk  dijadikan sebagai dasar hukum atau tidak.

Banyaknya hak korban dalam konteks hukum acara yang belum diatur dan bahkan pengaturannya yang kembali merugikan kepentingan korban sehingga posisi korban yang sudah menjadi korban dalam suatu tindak pidana, pada proses penegakan hukumnya kembali menjadi korban dan menderita kerugian. Untuk itu perlu ada pengaturan hukum dalam kaitannya dengan hukum acara yang lebih jelas dan tegas guna mengakomodir kepentingan hukum korban. 



    



 

Sabtu, 07 September 2013

HAKIM SEBAGAI PEMBENTUK HUKUM DALAM KONTEKS PENEMUAN HUKUM DAN PENCIPTAAN HUKUM

Oleh :
Feri Antoni Surbakti, SH.,M.H.

Pendahuluan

Pemikiran tentang hukum dalam beberapa tahun terakhir ini telah banyak mengalami perubahan sebagai akibat dari perubahan besar dalam masyarakat, teknologi dan tekanan-tekanan yang disebabkan pertambahan penduduk. Hukum sebagai kaidah sosial, tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku disuatu masyarakat. Bahkan dapat di katakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.

Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat, tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Indonesia sebagai negara hukum yang menganut sistim “civil law”, yang merupakan warisan dari kolonial Belanda semenjak ratusan tahun yang lalu. Dalam sistim civil law ini, hukum yang tertulis adalah merupakan primadona sebagai sumber hukum.

Selama ini, baik dalam wacana akademik maupun dalam politik hukum lazim didapati suatu kata ungkapan yaitu “ hukum sebagai sarana atau hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat “. Ungkapan tersebut terkait dengan konsep Roscoo Pound yang menyebutkan hukum sebagai alat rekayasa sosial (law as tools social of enggineering).

Secara sepintas, ungkapan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat adalah tidak terlepas dari terjemahan law as tools social of enggineering, tetapi secara substantif ada perbedaan sehingga dikatakan serupa tapi tak sama. Konsep roscoo pound, hukum sebagai alat rekayasa sosial pada hakikatnya tidak terlepas dari prinsip Judge Made Law (hakim sebagai pembaharu) sebagai sumber utama dalam kaidah hukum sistim common law. Namun tidak demikian halnya, dengan konsep hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat. 

Konsep hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Muchtar Kusumaatmaja bahwa sumber utama kaidah hukum itu di Indonesia adalah hukum yang tertulis atau undang-undang atau peraturan perundang-undangan.


Hakim sebagai Pembentuk Hukum

Konsep hakim sebagai mulutnya undang-undang, pada dasarnya merupakan turunan yang menghendaki hukum hanyalah undang-undang atau hukum tertulis yang tersusun lengkap dalam kitab undang-undang. Hal ini ditandai dengan adanya aliran legisme (positivisme), yang tidak mengakui hukum diluar undang-undang.
Dalam tradisi anglo saxon, sumber kaidah hukum yang utama adalah berakar pada putusan-putusan hakim yang bersifat mengikat. Sedangkan dalam tradisi kontinental yurisprudensi, justru tidak mengikat. Seorang hakim bebas memutus (membuat suatu putusan) tanpa memiliki kewajiban untuk mengikuti putusan-putusan hakim yang terdahulu. Hal ini juga menimbulkan ketidakpastian. Disamping konsep hakim sebagai corong undang-undang tidak terlaksana dengan baik sebagaimana mestinya. Sebagai akibat, bahwa hukum yang tertulis itu tidak pernah disusun secara lengkap. Padahal, hakim itu memiliki kekuasaan terhadap masalah-masalah yang dihadapkan kepadanya.

Fungsi hakim dalam menerapkan hukum apa adanya, pada hakekatnya menempatkan hakim semata-mata “memberikan tempat” atas suatu peristiwa hukum yang terjadi sesuai dengan aturan yang telah ada. Fungsi ini tidak lebih, hakim itu seperti layaknya seorang “penjahit” (tailor) yang menjahit bagian-bagian yang sudah ditempatkan. Berbeda halnya dengan seorang designer. Karakter hakim yang seperti penjahit, sehingga membuat hakim dalam putusannya tidak pernah memiliki suatu kreasi.

Tugas hakim pada dasarnya adalah memberikan keputusan dalam setiap perkara yang dihadapkan kepadanya, menetapkan hal-hal seperti hubungan hukum, nilai-nilai hukum daripada perilaku, serta kedudukan hukum para pihak yang terlibat dalam suatu perkara yang dihadapkan kepadanya.

Untuk dapat menyelesaikan konflik secara imparsial berdasarkan hukum yang berlaku, para hakim harus selalu mandiri dan bebas dari pengaruh pihak manapun termasuk  pemerintah sekalipun dalam mengambil keputusan. Para hakim hanya terikat pada fakta-fakta yang relevan dan kaidah hukum yang menjadi atau dijadikan landasan yuridis keputusannya.


Hakim Sebagai Penemu dan Penciptaan Hukum

Mengapa perlu penemuan hukum ? sebagaimana yang diuraikan diatas, bahwa dalam kenyataanya menunjukan, hampir tidak ada suatu peristiwa hukum yang terjadi di dalam praktek kehidupan masyarakat yang terlukiskan/tersusun secara tepat di dalam suatu kaidah hukum (undang-undang). Melihat kenyataan yang demikian ini, hakim senantiasa harus mencari kelengkapan dengan menemukan hukum itu sendiri. Oleh karenanya, hakim wajib memberikan suatu penemuan hukum atas suatu peristiwa hukum dengan menterjemahkan atau memberikan makna agar suatu aturan hukum sesuai dengan peristiwa hukum yang terjadi.

Sudikno Mertokusumo menyatakan, kegiatan kehidupan manusia itu sangat luas. Tidak terhitung jumlah dan jenisnya. Sehingga tidak mungkin tercakup dalam semua peraturan perundang-undangan dengan tuntas dan jelas. Oleh karenanya wajar, kalau tidak ada peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup keseluruhan kehidupan manusia. Dengan demikian, dikarenakan hukumnya tidak jelas, maka harus dicari dan ditemukan.

Dalam rangka fungsi hakim guna menemukan dan menciptakan hukum, ada beberapa metode melakukan penemuan hukum itu yaitu, pertama, dengan melakukan penafsiran analogi, kedua, melakukan perluasan dan penghalusan hukum, dan ketiga, melakukan penafsiran a countrario. Metode ini dipergunakaan dengan memperhatikan keperluan dalam rangka menemukan makna yang tepat agar tujuan undang-undang atau peraturan perundang-undangan dapat tercermin secara tepat, benar, adil serta wajar dalam memecahkan suatu peristiwa hukum. 

Menemukan dan menciptakan hukum harus pula dikonstruksikan sebagai upaya hakim yang harus memutus terhadap suatu perkara yang dihadapkan kepadanya, aturan hukum yang ada tidak tersedia untuk dijadikan sebagai dasar. Dengan demikian, tugas hakim dalam menemukan dan  menciptakan hukum diperlukan bilamana terjadi kekosongan hukum. Perluasan ini, sekaligus memberi arti bahwa pengertian hukum tidak semata-mata hanyalah hukum yang tertulis (undang-undang), tetapi juga yurisprudensi dan hukum yang tidak tertulis lainnya.

Selama ini, baik dalam wacana akademik maupun dilapangan praktik hukum, kurang sekali perhatian terhadap peranan hakim sebagai instrumen pembaharu hukum. Seperti dikemukakan diatas, undang-undanglah yang dianggap sebagai instrumen paling utama dalam pembaharuan undang-undang. Oleh karenanya menanamkan pengertian kepada aparat penegak hukum kita khususnya para hakim, pada umumnya tidak boleh dipandang sebagai suatu yang berdiri sendiri. Hal yang sangat penting adalah mengubah orientasi dan metode pendidikan tinggi hukum, tanpa perubahan orientasi dan metode pendidikan tinggi hukum, para sarjana hukum tidak cukup dibekali mengenai peranan besar yang diharapkan.

Minggu, 25 Agustus 2013

PERSENTUHAN HUKUM INDONESIA TERHADAP PERKAWINAN ANTAR AGAMA

Oleh : Feri Antoni Surbakti, SH.,M.H.
Sesuai dengan hakekatnya, bahwa manusia itu dilahirkan dan diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa Lokasi untuk berpasang-pasangan. Berpasang-pasangan tersebut, akhirnya terjalinya suatu ikatan diantara kedua insan manusia yaitu “perkawinan”. Dewasa ini pada masyarakat sekarang, suatu perkawinan dianggap sah apabila telah mendapatkan pengakuan dari Negara. Cara untuk mendapatkan pengakuan itu sering berbeda-beda diantara Negara yang satu dengan Negara yang lain. Perkawinan itu sendiri sering pula diteguhkan dengan adanya upacara perkawinan.

Negara Republik Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila pertama adalah ketuhanan yang maha esa maka perkawinan itu dianggap erat hubungannya dengan agama sehingga perkawinan bukan saja mengandung unsur lahir/jasmani tetapi unsur agama juga mempunyai peranan penting. Terlebih sejak lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, menyatakan perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing sesuai dengan keyakinannya. Dengan demikian, pelaksanaan perkawinan dilakukan menurut agama merupakan syarat mutlak untuk menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan.

Mengingat di Negara Republik Indonesia hidup serta diakui berbagai macam agama, maka tidak mengherankan bilamana kita sering menjumpai atau mendengar adanya perkawinan yang dilakukan orang-orang yang berbeda-beda agama, baik yang satu beragama islam sedangkan yang satu lagi beragama kristen. Di Indonesia, perkawinan antar agama semacam ini telah mulai banyak dilakukan dan terkesan mulai berkembang. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sendiri, tidak mengatur secara tegas tentang masalah perkawinan antar (beda) agama. Oleh karenanya, timbul pertanyaan “Apakah perkawinan antar (beda) agama dapat dibenarkan dan diperbolehkan ? “.

Mengacu pada ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaanya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, pada dasarnya masalah perkawinan antar (beda) agama tidak diatur secara tegas. Namun demikian, bila diteliti dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat dijadikan pedoman yakni sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaan masing-masing. Hal ini berarti, undang-undang menyerahkan sepenuhnya pelaksanaan perkawinan itu kepada ketentuan agama yang dianut oleh kedua calon mempelai. Dengan kata lain, untuk menentukan sah atau tidaknya perkawinan itu selain tergantung pada ketentuan Undang-undang perkawinan sendiri maka juga ditentukan dalam hukum agama. 

Pada dasarnya, menurut ketentuan hukum agama yang hidup dan berlaku di Indonesia, baik Agama Islam, Kristen  Protestan,  Kristen Katolik, Hindhu dan Budha bahwasanya pelaksanaan perkawinan antar (beda) agama tetap tidak diperbolehkan. Terutama menurut agama Islam, bahwa perkawinan itu adalah pelaksanaan, peningkatan dan penyempurnaan ibadah kepada Allah Swt dalam hubungan antara dua jenis manusia, pria dan wanita yang satu sama lain memerlukan untuk kelangsungan hidupnya. Dengan demikian, menurut hukum islam perkawinan itu mempunyai unsur-unsur ibadah. Hukum Islam sendiri, mensyaratkan mutlak terhadap calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan itu harus menganut akidah yang sama. Artinya kedua mempelai harus mempunyai keyakinan yang sama, selain mengacu pada rukun perkawinan yang terdapat pada syariat hukum Islam.

Ketika pada masyarakat sekarang ini, melihat perkawinan itu dianggap sah apabila mendapatkan adanya pengakuan dari negara sedangkan cara untuk mendapatkan pengakuan dari negara tersebut berbeda-beda antara negara yang satu dengan negara yang lain dan Negara Republik Indonesia, tidak mengenal adanya perkawinan antar (beda) agama. Timbul permasalahan, bagaimana ketika ada warga negara Indonesia yang satu beragama kristen dan yang satu beragama Islam telah melangsungkan perkawinan di luar dari Indonesia ?  Apakah perkawinan mereka itu dianggap sah oleh Negara ? Dan bagaimana dengan keturunan mereka, agama apa yang dianutnya ?

Pasal 56 ayat (1) Undang-undang Perkawinan, menyatakan perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara warga negara Indonesia atau seorang warga Negera Indonesia dengan salah satu warga negara asing adalah sah, bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan undang-undang ini. Melihat pada ketentuan Pasal 56 ayat (1) tersebut, maka ketika ada terjadi permasalahan diatas disini secara langsung Negara telah mengakui perkawinan tersebut. Namun demikian, disisi lain undang-undang perkawinan mengacu pada Pasal 2 ayat (1) tidak mengenal dan tidak mengakui adanya perkawinan antar (beda) agama. Hal inilah yang harus diperhatikan oleh Pemerintah dan perlu penanganannya secara serius guna dicari pemecahannya. Karena masalah perkawinan bukan hanya masalah kepentingan privat, melainkan sudah masuk keranah publik termasuk urusannya dengan Pemerintah.       

   

   

   


  

     

PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Oleh :
FERI ANTONI SURBAKTI, SH.M.H.

Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tentram dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam lingkup rumah tangga. Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dijamin oleh Pasal 29 Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Dengan demikian, setiap orang yang dalam lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus di dasari oleh agama. Hal ini perlu terus ditumbuhkembangkan dalam rangka keutuhan rumah tangga. Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut.

Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut. Negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku kekerasan dalam rumah tangga sesuai dengan falsafah Pancasila. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.

Pandangan negara tersebut didasarkan pada Pasal 28 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 beserta perubahannya. Pasal 28 G ayat 1 Undang-undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa “setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang dibawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Pasal 28 H ayat (2) Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menentukan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

Sejarah perkembangan masyarakat sejak sebelum, selama dan sesudah abad pertengahan telah ditandai oleh berbagai usaha manusia untuk mempertahankan kehidupannya dan hampir sebagian besar memiliki unsur kekerasan sebagai fenomena dalam dunia realita. Bahkan kehidupan umat manusia manusia pada abad 20 ini masih ditandai pula oleh eksistensi kekerasan sebagai suatu fenomena di dalam usaha untuk mencapai tujuan tertentu dalam masyarakat atau tujuan yang bersifat perseorangan. Berkaitan dengan masalah kejahatan, maka kekerasan sering merupakan pelengkap dari bentuk kejahatan itu sendiri. Bahkan ia membentuk suatu ciri  tersendiri dalam khasanah tentang studi kejahatan.

Dewasa ini, perkembangan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga baik secara fisik, fsikis, seksual dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya sering terjadi sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga. Menurut catatan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan pada tahun 2005 menunjukan adanya 20.391 kasus kekerasan terhadap perempuan. Angka kekerasan ini meningkat sekitar 14.020 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi pada tahun 2004.

Memang kian tahun semakin banyak kasus kekerasan yang terjadi terhadap perempuan yang terungkap. Komnas Perempuan pada 7 maret 2007, mencatat adanya 22.512 kasus kekerasan terhadap perempuan. Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menempati angka yang tertinggi yakni 16.709 kasus atau sekitar 76%. Angka tersebut diatas, memang belum bisa dianggap sebagai data valid atas kasus kekerasan terhadap perempuan terlebih lagi terhadap kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Hal ini dapat kita lihat dari berbagai peristiwa kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi baik dari media elektronik maupun media cetak.

Perempuan selaku korban dari tindakan kekerasan dalam rumah tangga perlu diberikan perlindungan yang sifatnya intensif, karena dia selaku korban tindakan kekerasan sangat membutuhkan adanya perlindungan dari berbagai pihak, terutama dari pihak Pemerintah, khususnya dari aparat penegak hukum yaitu Polisi, Jaksa dan Hakim agar pelaku tindak pidana ini diberikan hukuman yang sepantasnya. Berangkat dari fenomena yang kerap terjadi belakangan ini dan sering dialami oleh perempuan yang dan tidak pernah terselesaikan secara hukum dan secara adil, sehingga menimbulkan gejala sosial yang sangat kompleks. Isu kekerasan terhadap perempuan semakin gencar dan menjadi fenomenal dikalangan perempuan dewasa.

Dalam konsep kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence), cakupan atas tindakan yang dikatagorikan sebagai bentuk kekerasan lebih pada suatu tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang terdekat dalam hubungan interpersonal yang bisa dilakukan oleh atasan dengan bawahan, pasangan hidupnya atau antar anggota keluarga baik yang terikat dalam suatu ikatan perkawinan yang sah maupun tidak sah. Kelompok yang rentan menjadi korban kekerasan adalah perempuan dan anak. Pengertian kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah “setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Berdasarkan defenisi tersebut diatas, terlihat yang diberlakukan tidak semata-mata tertuju pada kepentingan perempuan saja, melainkan berlaku untuk semua orang yang termasuk dalam lingkup keluarga, termasuk laki-laki dan anak-anak.

Menurut Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang  termasuk cakupan dalam rumah tangga sebagaimana yang dimaksudkan dalam undang-undang ini adalah sebagai berikut :

1.    Suami, istri dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri)
2.    Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana disebutkan diatas karena hubungan darah,  perkawinan (misalnya mertua, menantu, ipar dan besan), persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga.
3.    Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.

Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga ini bertujuan untuk menghapus segala bentuk diskriminasi dan berusaha menjamin perlindungan terhadap korban sebagai pihak yang lemah yang menerima perlakuan kekerasan dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga adalah bukanlah suatu hal yang baru dalam hukum pidana. Kekerasan ini bahkan sudah mulai terlihat sebelum lahirnya Rasulullah Muhammad SAW, yang lazim disebut zaman jahiliyah. Praktek pidana kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi pada zaman jahiliyah tersebut antara lain adalah seperti pembunuhan hidup-hidup yang dilakukan oleh orang tua kepada anak perempuannya yang baru lahir.

Keadaan-keadaan kekerasan seperti ini terus-menerus saja terjadi dalam lingkup rumah tangga sampai ke pada zaman modern sekarang ini. Hal ini terlihat diberbagai media, yang membahas kasus-kasus kekerasan yang terjadi terhadap perempuan dan anak-anak dalam lingkup rumah tangga, seperti suami atau orang tua yang menelantarkan istri dan anaknya, orang tua yang tega menjual anaknya dan dijadikan pemuas nafsu birahi, Isteri disetrika, suami dipotong kemaluannya, suami yang disiram air panas oleh istrinya. Seorang suami mentang-mentang menjadi pemimpin dikeluarganya, dengan sesuka hatinya bertindak semaunya. Istri diperlakukan sebagai budak, anak-anak diperjual belikan bagaikan barang dagangan. Istri mentang-mentang cantik, punya pekerjaan, dibuatnya suami layaknya sebagai babu. Inilah barang kali dekadensi moral yang terjadi pada bangsa ini. Kejadian kekerasan dan atau pelanggaran terhadap hak-hak perempuan bisa terjadi disetiap wilayah tanpa memandang kelas dan status sosial ekonominya.

Salah satu hal penting yang menjadi perhatian serius oleh Pemerintah pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), diantaranya kekerasan yang dilakukan oleh suami-istri atau kekerasan oleh orang tua terhadap anak, untuk diatur dengan suatu undang-undang. Hal ini mengingat bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap kemanusiaan, juga merupakan tindakan diskriminasi. Terhadap persoalan tersebut, akhirnya Pemerintah telah secara cermat telah melakukan tindakan-tindakan agar kekerasan yang sering terjadi dalam rumah tangga tersebut dapat memperoleh jaminan perlindungan oleh hukum. Setidaknya, para pelaku kekerasan dalam rumah tangga dapat ditindak secara hukum bila melakukan tindakan-tindakan penyimpangan terhadap rumah tangganya. Upaya Pemerintah tersebut dengan dikeluarkannya Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Sebelum diterbitkannya undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bahwa seseorang korban kekerasan dalam rumah tangga sangat sulit untuk mencari keadilan atau mendapatkan  perlindungan atas kejadian yang menimpa dirinya. Bukan saja, pada waktu itu belum ada payung hukumnya namun disisi lain adannya pandangan masyarakat bahwa mengungkap hal yang terjadi dalam lingkungan rumah tangga adalah suatu hal yang tabu, aib, dan sangat privat, yang tidak perlu intervensi dari pihak luar, termasuk jika masalah rumah tangga itu sebenarnya merupakan kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini sangat diyakini oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, sehingga hampir tidak pernah ada kejadian/kasus kekerasan dalam rumah tangga dilaporkan kepada pihak yang berwajib bahkan mungkin diutarakan kepada pihak kerabat terdekat pun hampir tidak terlakukan.

Kuatnya keyakinan sebagai suatu aib atau tabu dan akhirnya kekerasan dalam rumah tangga menjadi hal yang sangat tertutup atau ditutupi. Korbanpun hanya diam seribu bahasa menikmati kesedihan dan kesendirianya dalam memendam perasaan sakit, baik secara fisik maupun psikis yang pada dasarnya suatu hal yang sangat tidak adil terhadap hak asasi dirinya dan sangat membutuhkan bukan saja perlindungan sosial, tetapi juga perlindungan hukum. Dalam hal ada pelaporan atau pengaduan atas kekerasan dalam rumah tangga, hal ini praktis mengalami kebuntuan dalam penanganan proses hukumnya karena belum ada payung hukum. Sementara hukum yang ada (KUHP) hanya mengenal istilah penganiayaan sehingga seringkali menglami kesulitan terutama untuk pembuktian atas kekerasan non-fisik. Demikian halnya, bahwa belum tersedianya mekanisme untuk penanganan korban, sehingga korban kekerasan dalam rumah tangga sering kali tidak mendapatkan perlindungan yang memadai. Hal ini sungguh merupakan bencana bagi siapa pun yang mengalami sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga, terlebih lagi jika korban adalah perempuan atau anak.

Namun kemudian, bangsa Indonesia patut merasa bersyukur dengan dikeluarkannya oleh Pemerintah Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 yang diharapkan dapat dijadikan sebagai perangkat hukum yang memadai yang didalamnya antara lain mengatur mengenai pencegahan, perlindungan terhadap korban dan penindakan terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dengan tetap menjaga keutuhan demi keharminosan keluarga. Dengan demikian, lahirnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, diharapkan penangangannya dapat dilakukan secara proporsional sebagaimana upaya perlindungan terhadap korban dan penanganan terhadap pelaku. Oleh karena, hal ikhwal kekerasan dalam rumah tangga bukan lagi menjadi sesuatu yang dianggap privat tetapi sudah menjadi isu publik. Hal ini pun sudah dijamin perlindungannya dalam konstitusi yakni Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Melihat sejarah mengapa para aktivis dan pemerhati perempuan sangat memperjuangkan lahirnya Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini mudah dipahami bahwa bukannya saja konstitusi Indonesia telah secara tegas dan jelas melindungi hak-hak asasi manusia dan perlindungan terhadap tindakan diskriminasi, namun kejadian-kejadian kekerasan dalam rumah tangga dengan berbagai modus operandinya sudah sangat memerlukan pengaturan yang memadai, termasuk perlindungan terhadap bentuk-bentuk diskriminasi hak asasi perempuan dalam rumah tangga. Amanat dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam Pasal 28 A menentukan : “ bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Pasal 28 B ayat (1) menyatakan “setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Pasal 28 B ayat (2) berbunyi : “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Pasal 28G ayat (1) menyatakan “setiap orang bebas atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang berada dibawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasinya”.



DITETAPKANNYA SUATU KAWASAN HUTAN, DI PROVINSI ACEH

Oleh : 
Feri Antoni Surbakti, SH.,M.H.
Pengertian kawasan hutan sebagaimana yang dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, dinyatakan kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaanya sebagai hutan tetap. Pengertian kawasan hutan tersebut berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 45/PUU-IX/2011, tanggal 09 Februari 2012 ditegaskan bahwa sepanjang frase di tunjuk dan atau telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik 1945 dan telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Sehingga ditetapkannya suatu kawasan hutan tidak lagi berdasarkan pada penunjukan, melainkan harus dilakukan melalui penetapan yang dibuat oleh Menteri Kehutanan.

Penunjukan suatu kawasan untuk dijadikan sebagai kawasan hutan tetap tanpa melalui proses atau tahapan-tahapan yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kawasan sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan merupakan pelaksanaan yang otoriter serta tidak seharusnya suatu kawasan yang akan dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap yang menguasai hajat hidup orang banyak hanya dengan dilakukan penunjukan belaka.  Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 170/Kpts/II/2000 tertanggal 29 Juni 2000 Tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di wilayah Propinsi Aceh pada prinsipnya hanyalah merupakan kebijakan/produk hukum yang bersifat internal di lingkungan Departemen Kehutanan saja yang tidak berimplikasi keluar sehingga tidak berlaku secara umum apalagi yang berimplikasi pada perbuatan pidana.

Terkait dengan Surat Keputusan Menhut 170/Kpts/II/2000 tertanggal 29 Juni 2000 Tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di wilayah Propinsi Aceh, maka mengacu pada Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 70/Kpts-II/2001Tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan status dan Fungsi Kawasan hutan sebagaimana yang telah dirubah berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 48/Menhut-II/2004, tanggal 23 Januari 2004 Tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 70/Kpts-II/2001Tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan status dan Fungsi Kawasan hutan, ditegaskan dalam Pasal 5 Ayat (1) yang menyatakan “ penetapan kawasan hutan adalah tahap akhir dari proses pengukuhan kawasan hutan “. Pasal 5 Ayat (2) menyatakan “ Pengukuhan kawasan hutan meliputi : Penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan”. Selanjutnya Pasal 6 Ayat (2) menyatakan “ penetapan kawasan hutan dilakukan melalui proses : (a). penyampaian berita acara tata batas (BATB) dan peta tata batas (PTB) yang telah ditanda tangani oleh panitia tata batas “, (b). penelaah hukum dan teknis terhadap berita acara tata batas (BATB) dan peta tata batas (PTB) oleh instansi eselon I terkait lingkup Departemen Kehutanan”, (c). apabila berita acara tata batas (BATB) dan peta tata batas (PTB) telah memenuhi persyaratan hukum dan teknis, maka badan planologi kehutanan menyiapkan konsep keputusan Menteri tentang penetapan kawsan hutan berserta lampirannya dengan skala 1 : 100.000, (d). Menteri menetepkan keputusan penetapan kawasan hutan beserta lampirannya.

Secara teoritis, adanya kawasan hutan yang defenitif itu, ditandai adanya penetapan dari Menteri Kehutanan dan Surat Keputusan Menhutbun Nomor : 170/Kpts/II/2000 tertanggal 29 Juni 2000 Tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di wilayah Propinsi Aceh, pada dasarnya belumlah tuntas dikarenakan suatu pengkuhan kawasan hutan harus dilakukan melalui tahapan-tahapan yang terdiri dari penataan batas kawasan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan. Tahapan-tahapan tersebut merupakan tahapan yang bersifat komulatif yang semuanya harus dipenuhi atau selesai dilaksanakan sehingga baru dinyatakan adanya kawasan hutan yang defenitif. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Disisi lain, Surat Keputusan  Menteri Kehutanan Nomor : 170/Kpts/II/2000 tertanggal 29 Juni 2000 Tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di wilayah Propinsi Aceh, tidak termasuk dalam hirarki tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sedangkan didasarkan pada Pasal 7 Ayat (4) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditentukan bahwa peraturan perundang-undangan selain sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi antara lain Peraturan Menteri dan bukannya Keputusan Menteri.

Pasal 12 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menentukan bahwa perencanaan kehutanan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 10 Ayat (2) huruf a meliputi : a. Iventarisasi hutan, b. Pengukuhan kawasan hutan, c. penataagunaan kawasan hutan, d. pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan e. penyusunan rencana kehutanan. Bahwa dilihat dari penjelasan Pasal 15 Ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, dijelaskan penunjukan kawasan hutan adalah merupakan kegiatan persiapan pengukuhan kawasan hutan antara lain berupa : pembuatan peta penunjukan yang bersifat arahan tentang batas luar, pemancangan batas sementara yang dilengkapi dengan lorong-lorong, pembuatan parit batas pada lokasi rawan dan pengumuman tentang rencana batas kawasan hutan terutama dilokasi-lokasi yang berbatasan dengan tanah milik.

Disamping itu, mengacu pada ketentuan Peraturan Pemerintah RI Nomor 44 Tahun 2004 Tentang Perencanaan Kehutanan telah ditegaskan pada Pasal 1 Angka 8, Pasal 1 Angka 10 dan Pasal 1 Angka 11 yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut : Pasal 1 Angka 8 menyatakan “ bahwa pengukuhan kawasan hutan adalah rangkaian kegiatan penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan dengan tujuan untuk memberikan kepastian hukum atas status, letak, batas dan luasa kawasan hutan”. Pasal 1 Angka 10 menyatakan “ Penataan batas kawasan hutan adalah kegiatan yang meliputi proyeksi batas, pemacangan patok batas, pengumuman, iventarisasi, dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga, pemasangan pal batas, pengukuran dan pemetaan serta pembuatan berita acara tata batas”. Pasal 1 Angka 11 menyatakan “penatapan kawasan hutan adalah suatu penegasan tentang kepastian hukum mengani status, batas, dan luas kawasan hutan menjadi kawasan hutan tetap”. 

Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 170/Kpts/II/2000 tertanggal 29 Juni 2000 Tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di wilayah Propinsi Aceh, masih bersifat Penunjukan atau merupakan tahap awal yang harus di tindak lanjuti ataupun diikuti dengan tahapan-tahapan berikutnya dalam proses pengukuhan kawasan hutan. Dengan kata lain, Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 170/Kpts/II/2000 tertanggal 29 Juni 2000 Tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di wilayah Propinsi Aceh tersebut belumlah menentukan adanya suatu kawasan hutan yang bersifat FINAL dan DEFENITIF.

Dengan demikian, Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 170/Kpts/II/2000 tertanggal 29 Juni 2000 Tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di wilayah Propinsi Aceh, tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sehingga nyata tidak dapat dijadikan sebagai landasan hukum guna menentukan suatu wilayah sebagai kawasan hutan tetap yang dipertahankan keberadaanya. Terlebih lagi, Propinsi Aceh telah mengajukan rencana tata ruang Wilayah (RTRW) sesuai dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, guna menyesuaikan lahan-lahan untuk ditetapkan sebagai lahan masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat di daerah Propinsi Aceh.

  

HUBUNGAN HUKUM ANTARA DOKTER DAN PASIEN DALAM TRANSAKSI TERAPUETIK

Oleh :
Feri Antoni Surbakti, SH.,M.H.

PENDAHULUAN

Profesi kedokteran merupakan salah satu profesi yang menjadi sorotan masyarakat. Sorotan masyarakat ini, sebenarnya sebagai pertanda banyaknya masyarakat yang merasa tidak puas atas pelayanan kesehatan yang diberikan. Hal ini tidak terlepas dari permasalahan-permasalahan yang muncul dalam bidang kesehatan yang terjadi di kehidupan sehari-hari sebagaimana yang kita lihat dalam berbagai pemberitaan oleh media. Banyaknya kritikan masyarakat tersebut, merupakan sesuatu hal yang wajar sebagai akibat tidak terlaksananya dengan baik atas pemberian pelayanan kesehatan yang diberikan oleh dokter dan atau institusi tenaga kesehatan itu sendiri.
Dalam era reformasi sekarang ini, hukum memegang peranan penting dalam berbagai segi kehidupan masyarakat dan bernegara. Pada dasarnya, kebijaksanaan pembangunan kesehatan bertumpu pada upaya pengobatan dan pemulihan kesehatan, yang kemudian bergeser pada upaya penyelenggaraan kesehatan secara menyeluruh dengan menekankan pada upaya pencegahan dan peningkatan kesehatan. Guna mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi setiap orang, yang merupakan bagian integral dari kesejahteraan diperlukan dukungan hukum dalam penyelenggaran berbagai kegiatan khususnya dibidang kesehatan.  

Pola Hubungan Antara Dokter Dengan Pasien

Hubungan antara dokter dengan pasien, telah terjadi sejak dahulu. Dokter dianggap sebagai seseorang yang memberikan pengobatan terhadap orang yang membutuhkannya. Hubungan hukum antara Dokter dengan pasien, berawal dari pola hubungan vertikal paternalistik layaknya bapak dan anak yang bertolak pada prinsip “ Father knows best “ dimana seorang dokter dianggap lebih mengetahui dan mampu untuk mengobati atas penyakit yang diderita oleh pasien. Sehingga, kedudukan dokter lebih tinggi daripada kedudukan pasien dan dokter memiliki peranan penting. Di dalam perkembangannya, pola hubungan antara dokter dan pasien yang demikian tersebut, lambat laun telah mengalami pergeseran kearah yang lebih demokratis yaitu hubungan horizontal kontraktual atau partisipasi bersama. Kedudukan dokter tidak lagi dianggap lebih tinggi daripada pasien melainkan kedudukan dokter dan pasien dalam hubungannya tersebut sudah seimbang/sederajat. Pasien tidak lagi dianggap sebagai objek hukum tetapi pasien sudah sebagai subjek hukum. Segala sesuatunya dikomunikasikan diantara kedua belah pihak sehingga menghasilkan keputusan yang saling menguntungkan diantara kedua belah pihak, baik dokter sebagai pemberi pelayanan kesehatan maupun si pasien sendiri selaku penerima pelayanan kesehatan.
Hubungan antara dokter dan pasien, merupakan hubungan hukum yang didasarkan pada transaksi terapeutik. Dikatakan demikian, karena adanya kesanggupan dari dokter untuk mengupayakan kesehatan atau dokter berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan penyembuhan si pasien dari penderitaan sakitnya. Penegasan mengenai hubungan ini sebagai suatu perjanjian (transaksi) dapat dilihat pada alinea pertama Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI).  Oleh karenanya, hubungan hukum antara dokter dan pasien yang demikian lazim disebut sebagai perjanjian yang bersifat Inspaningverbintenis.
Timbulnya hubungan hukum antara dokter dan pasien, dalam praktik sehari-hari dapat disebabkan dalam berbagai hal. Hubungan itu terjadi antara lain disebabkan pasien yang mendatangi dokter untuk meminta pertolongan agar menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Keadaan ini terjadi adanya persetujuan kehendak diantara kedua belah pihak. Hubungan hukum ini bersumber pada kepercayaan si pasien kepada dokter, sehingga si pasien bersedia memberikan persetujuan kepada dokter untuk melakukan tindakan medis ( Informed Consent ). Secara yuridis, Informed Consent dalam pelayanan kesehatan telah memperoleh pembenaran melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 585/Menkes/1989. Di sisi lain, alasan lain yang menyebabkan timbulnya hubungan antara dokter dengan pasien adalah karena keadaan mendesak untuk segera mendapatkan pertolongan dari dokter. Misalnya, dalam keadaan terjadinya kecelakaan lalu lintas ataupun karena adanya situasi lain yang menyebabkan keadaan pasien sudah gawat (emergency) dimana dokter langsung dapat melakukan tindakan. Keadaan seperti ini yang disebut dengan Zaakwaarneming sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1354 KUHPerdata. Dengan demikian, selain hubungan hukum antara dokter dan pasien terbentuk karena transaksi terapuetik (Ius Contracto), maka hubungan hukum antara dokter dan pasien juga bisa terbentuk didasarkan pada zaakwaarneming dan atau disebabkan karena undang-undang ( Ius delicto ). hubungan hukum antara dokter dan pasien yang seperti ini merupakan salah satu ciri dari transaksi terapeutik yang membedakan dengan perjanjian (transaksi) pada umumnya sebagaimana yang diatur dalam KUHPerdata.            

Perikatan Antara Dokter dan Pasien

Hubungan dokter dan pasien yang didasarkan pada transaksi terapeutik, pada prinsipnya harus tetap memperhatikan objek sahnya suatu perjanjian sebagaimana yang dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, yang unsur-unsurnya sebagai berikut :
1.    Adanya kesepakatan dari mereka yang saling mengikatkan dirinya (Toesteming van degene die zich verbiden) ;
2.    Adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan ( de bekwaamheid om eene verbitenis aan te gaan ) ;
3.    Mengenai sesuatu hal tertentu  ( een bepaald onderwerp )
4.    Suatu sebab yang halal atau diperbolehkan ( eene geoorloofdeoorzaak ) 

Hubungan antara dokter dan pasien atau lazim disebut dengan perjanjian (transaksi) terapeutik dikatagorikan pada perjanjian Inspaningverbitenis (suatu perikatan upaya). Seorang dokter berkewajiban di dalam memberikan pelayanan kesehatan harus dengan penuh kesungguhan, dengan mengerahkan seluruh kemampuannya sesuai dengan standar ilmu pengetahuan kedokteran yang baik. Sehingga yang dituntut dari dokter adalah upaya maksimal dalam melakukan terapi yang tepat guna kesembuhan pasien. Penyimpangan yang dilakukan oleh seorang dokter dari prosedur medis, maka bisa saja dokter telah melakukan cidera janji (wanprestasi) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1329 KUHPerdata dan apabila tindakan dokter tersebut berakibat merugikan pasien dan merupakan perbuatan yang melawan hukum, sehingga ketentuan Pasal 1365 dan Pasal 1366 KUHPerdata sebagai dasar untuk mengajukan tuntutan.     

   



PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA, MASIH DILEMATIS

Oleh :
Feri Antoni Surbakti, SH.,M.H.
Dewasa ini kita sering mendengar perkataan korupsi dan yang tergambarkan oleh masyarakat bahwa korupsi itu adalah adanya pejabat pemerintah yang mengambil uang negara untuk kepentingan pribadinya. Disisi lain, kita juga sering mendengar kata-kata slogan “berantas korupsi, adili para koruptor dan sebagainya”. Slogan-slogan seperti ini terus kita dengar di Republik ini, namun bagaimana dengan penegakan hukum terhadap korupsi itu sendiri. Dan apakah pemberantasan korupsi di Indonesia, cukup dengan adanya slogan-slogan yang demikian ? 

Di Indonesia perkembangan korupsi, tumbuh dan merajalela. Ibarat penyakit, maka korupsi pun menjadi wabah sehingga korupsi terus merebak dan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Seperti layaknya, jamur tumbuh dimusim hujan. Maraknya korupsi yang terjadi di Indonesia, bukan lagi persoalan membudaya tetapi melainkan sudah menjadi membudidaya. Hal ini terlihat dari banyaknya tindak pidana korupsi yang terjadi sudah  semakin meluas, masuk kedalam semua aspek bidang dan sektor pembangunan.

Perkembangan korupsi yang demikian itulah, akhirnya mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia. Akhir-akhir ini tindak perilaku korupsi semakin marak dipublikasikan baik di media cetak maupun media elektronik. Upaya-upaya pemberantasan korupsi di Indonesia terus dilakukan oleh Pemerintah melalui aparatur penegak hukumnya dan terhadap pelaku koruptor tersebut telah banyak pula mendapatkan putusan pengadilan. Tetapi hingga kini, pemberantasan korupsi tersebut belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Hal ini  dengan banyaknya kasus-kasus korupsi yang terjadi semakin hari semakin meningkat pula. Mengapa ?

Di Sumatera Utara khususnya, penyidikan terhadap kasus-kasus korupsi telah banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum misalnya kasus korupsi Bendahara Biro Umum Pemprov Sumut, dugaan Korupsi di Politeknik Negeri Medan, dugaan korupsi Dispora Sumut dan sebagainya serta sebahagian dari penanganan perkara kasus korupsi tersebut telah pula mendapatkan putusan pengadilan. Namun penegakan hukum terhadap korupsi tersebut belum memberikan kepuasan bagi kita semua. Hal ini ditandai dengan banyaknya putusan-putusan pengadilan Tipikor Medan, yang menimbulkan kontraversial seperti halnya kasus korupsi Kepala Dinas PU Deliserdang dengan terdakwa “ Ir. Faisal “ dimana kerugian negera 105 M. Dalam kasus ini Jaksa Penutut umum menuntut terdakwa 8 Tahun Penjara, akan tetapi putusan Majelis hakim pengadilan Tipikor Medan yang diketuai oleh Denny L Tobing, SH menjatuhkan putusan kepada terdakwa hanya 18 Bulan Penjara denda Rp. 50 Juta subs 1 bulan Penjara. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor ini, sangat jauh dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

Bahkan ada putusan Pengadilan Tipikor Medan yang membebaskan pelaku koruptor seperti yang terjadi pada kasus Walikota Medan  “Rahudman Harahap”. Rahudman Harahap di duga melakukan tindak pidana korupsi Anggaran Tunjangan Penghasilan Aparatur Pemerintahan Desa (TPAPD) Tahun 2005 sebesar Rp. 1,5 M. Pada kasus Rahudman Harahap, Tim Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara menuntut Rahudman Harahap 4 Tahun Penjara Denda Rp. 500 Juta Subs 6 Bulan Penjara dan membayar Uang Pengganti sebesar Rp. 480,4 Juta Subs 2 Tahun Penjara. Namun Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara Rahudman Harahap tersebut yang diketuai oleh Hakim Sugiyanto, SH dalam amar putusannya menyatakan Rahudman Harahap tidak terbukti bersalah sehinggga membebaskannya dari segala tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

Dari contoh Penegakan hukum yang demikian diatas, jelas sangat bertolak belakang dengan visi dan misi Pemerintah dalam melakukan pemberantasan korupsi. Persepsi diantara sistem peradilan pidana di dalam melakukan pemberantasan korupsi tidak memiliki visi dan misi yang sama. Hal ini tentunya sangat dilematis dan memperihatinkan, ketika bangsa dan Negara ini memiliki keinginan untuk melakukan pemberantasan terhadap pelaku koruptor dimuka bumi pertiwi.

Tidak konsistennya aparat penegak penegak hukum tersebut, tidak menutup kemungkinan dilatar belakangi adanya sikap oknum aparat penegak hukum yang masih dinodai dengan perbuatan yang tidak terpuji. Lalu, bagaimana dengan sikap Pemerintah selanjutnya dalam menghadapi tidak konsistennya aparat penegak hukum dalam melakukan pemberantasan korupsi ? Dan apakah pemberantasan korupsi di Indonesia hanya antara harapan dan kenyataan ? Tentunya hal ini akan menjadi perhatian kita semua !