Minggu, 25 Agustus 2013

PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Oleh :
FERI ANTONI SURBAKTI, SH.M.H.

Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tentram dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam lingkup rumah tangga. Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dijamin oleh Pasal 29 Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Dengan demikian, setiap orang yang dalam lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus di dasari oleh agama. Hal ini perlu terus ditumbuhkembangkan dalam rangka keutuhan rumah tangga. Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut.

Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut. Negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku kekerasan dalam rumah tangga sesuai dengan falsafah Pancasila. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.

Pandangan negara tersebut didasarkan pada Pasal 28 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 beserta perubahannya. Pasal 28 G ayat 1 Undang-undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa “setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang dibawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Pasal 28 H ayat (2) Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menentukan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

Sejarah perkembangan masyarakat sejak sebelum, selama dan sesudah abad pertengahan telah ditandai oleh berbagai usaha manusia untuk mempertahankan kehidupannya dan hampir sebagian besar memiliki unsur kekerasan sebagai fenomena dalam dunia realita. Bahkan kehidupan umat manusia manusia pada abad 20 ini masih ditandai pula oleh eksistensi kekerasan sebagai suatu fenomena di dalam usaha untuk mencapai tujuan tertentu dalam masyarakat atau tujuan yang bersifat perseorangan. Berkaitan dengan masalah kejahatan, maka kekerasan sering merupakan pelengkap dari bentuk kejahatan itu sendiri. Bahkan ia membentuk suatu ciri  tersendiri dalam khasanah tentang studi kejahatan.

Dewasa ini, perkembangan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga baik secara fisik, fsikis, seksual dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya sering terjadi sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga. Menurut catatan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan pada tahun 2005 menunjukan adanya 20.391 kasus kekerasan terhadap perempuan. Angka kekerasan ini meningkat sekitar 14.020 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi pada tahun 2004.

Memang kian tahun semakin banyak kasus kekerasan yang terjadi terhadap perempuan yang terungkap. Komnas Perempuan pada 7 maret 2007, mencatat adanya 22.512 kasus kekerasan terhadap perempuan. Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menempati angka yang tertinggi yakni 16.709 kasus atau sekitar 76%. Angka tersebut diatas, memang belum bisa dianggap sebagai data valid atas kasus kekerasan terhadap perempuan terlebih lagi terhadap kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Hal ini dapat kita lihat dari berbagai peristiwa kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi baik dari media elektronik maupun media cetak.

Perempuan selaku korban dari tindakan kekerasan dalam rumah tangga perlu diberikan perlindungan yang sifatnya intensif, karena dia selaku korban tindakan kekerasan sangat membutuhkan adanya perlindungan dari berbagai pihak, terutama dari pihak Pemerintah, khususnya dari aparat penegak hukum yaitu Polisi, Jaksa dan Hakim agar pelaku tindak pidana ini diberikan hukuman yang sepantasnya. Berangkat dari fenomena yang kerap terjadi belakangan ini dan sering dialami oleh perempuan yang dan tidak pernah terselesaikan secara hukum dan secara adil, sehingga menimbulkan gejala sosial yang sangat kompleks. Isu kekerasan terhadap perempuan semakin gencar dan menjadi fenomenal dikalangan perempuan dewasa.

Dalam konsep kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence), cakupan atas tindakan yang dikatagorikan sebagai bentuk kekerasan lebih pada suatu tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang terdekat dalam hubungan interpersonal yang bisa dilakukan oleh atasan dengan bawahan, pasangan hidupnya atau antar anggota keluarga baik yang terikat dalam suatu ikatan perkawinan yang sah maupun tidak sah. Kelompok yang rentan menjadi korban kekerasan adalah perempuan dan anak. Pengertian kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah “setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Berdasarkan defenisi tersebut diatas, terlihat yang diberlakukan tidak semata-mata tertuju pada kepentingan perempuan saja, melainkan berlaku untuk semua orang yang termasuk dalam lingkup keluarga, termasuk laki-laki dan anak-anak.

Menurut Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang  termasuk cakupan dalam rumah tangga sebagaimana yang dimaksudkan dalam undang-undang ini adalah sebagai berikut :

1.    Suami, istri dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri)
2.    Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana disebutkan diatas karena hubungan darah,  perkawinan (misalnya mertua, menantu, ipar dan besan), persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga.
3.    Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.

Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga ini bertujuan untuk menghapus segala bentuk diskriminasi dan berusaha menjamin perlindungan terhadap korban sebagai pihak yang lemah yang menerima perlakuan kekerasan dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga adalah bukanlah suatu hal yang baru dalam hukum pidana. Kekerasan ini bahkan sudah mulai terlihat sebelum lahirnya Rasulullah Muhammad SAW, yang lazim disebut zaman jahiliyah. Praktek pidana kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi pada zaman jahiliyah tersebut antara lain adalah seperti pembunuhan hidup-hidup yang dilakukan oleh orang tua kepada anak perempuannya yang baru lahir.

Keadaan-keadaan kekerasan seperti ini terus-menerus saja terjadi dalam lingkup rumah tangga sampai ke pada zaman modern sekarang ini. Hal ini terlihat diberbagai media, yang membahas kasus-kasus kekerasan yang terjadi terhadap perempuan dan anak-anak dalam lingkup rumah tangga, seperti suami atau orang tua yang menelantarkan istri dan anaknya, orang tua yang tega menjual anaknya dan dijadikan pemuas nafsu birahi, Isteri disetrika, suami dipotong kemaluannya, suami yang disiram air panas oleh istrinya. Seorang suami mentang-mentang menjadi pemimpin dikeluarganya, dengan sesuka hatinya bertindak semaunya. Istri diperlakukan sebagai budak, anak-anak diperjual belikan bagaikan barang dagangan. Istri mentang-mentang cantik, punya pekerjaan, dibuatnya suami layaknya sebagai babu. Inilah barang kali dekadensi moral yang terjadi pada bangsa ini. Kejadian kekerasan dan atau pelanggaran terhadap hak-hak perempuan bisa terjadi disetiap wilayah tanpa memandang kelas dan status sosial ekonominya.

Salah satu hal penting yang menjadi perhatian serius oleh Pemerintah pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), diantaranya kekerasan yang dilakukan oleh suami-istri atau kekerasan oleh orang tua terhadap anak, untuk diatur dengan suatu undang-undang. Hal ini mengingat bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap kemanusiaan, juga merupakan tindakan diskriminasi. Terhadap persoalan tersebut, akhirnya Pemerintah telah secara cermat telah melakukan tindakan-tindakan agar kekerasan yang sering terjadi dalam rumah tangga tersebut dapat memperoleh jaminan perlindungan oleh hukum. Setidaknya, para pelaku kekerasan dalam rumah tangga dapat ditindak secara hukum bila melakukan tindakan-tindakan penyimpangan terhadap rumah tangganya. Upaya Pemerintah tersebut dengan dikeluarkannya Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Sebelum diterbitkannya undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bahwa seseorang korban kekerasan dalam rumah tangga sangat sulit untuk mencari keadilan atau mendapatkan  perlindungan atas kejadian yang menimpa dirinya. Bukan saja, pada waktu itu belum ada payung hukumnya namun disisi lain adannya pandangan masyarakat bahwa mengungkap hal yang terjadi dalam lingkungan rumah tangga adalah suatu hal yang tabu, aib, dan sangat privat, yang tidak perlu intervensi dari pihak luar, termasuk jika masalah rumah tangga itu sebenarnya merupakan kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini sangat diyakini oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, sehingga hampir tidak pernah ada kejadian/kasus kekerasan dalam rumah tangga dilaporkan kepada pihak yang berwajib bahkan mungkin diutarakan kepada pihak kerabat terdekat pun hampir tidak terlakukan.

Kuatnya keyakinan sebagai suatu aib atau tabu dan akhirnya kekerasan dalam rumah tangga menjadi hal yang sangat tertutup atau ditutupi. Korbanpun hanya diam seribu bahasa menikmati kesedihan dan kesendirianya dalam memendam perasaan sakit, baik secara fisik maupun psikis yang pada dasarnya suatu hal yang sangat tidak adil terhadap hak asasi dirinya dan sangat membutuhkan bukan saja perlindungan sosial, tetapi juga perlindungan hukum. Dalam hal ada pelaporan atau pengaduan atas kekerasan dalam rumah tangga, hal ini praktis mengalami kebuntuan dalam penanganan proses hukumnya karena belum ada payung hukum. Sementara hukum yang ada (KUHP) hanya mengenal istilah penganiayaan sehingga seringkali menglami kesulitan terutama untuk pembuktian atas kekerasan non-fisik. Demikian halnya, bahwa belum tersedianya mekanisme untuk penanganan korban, sehingga korban kekerasan dalam rumah tangga sering kali tidak mendapatkan perlindungan yang memadai. Hal ini sungguh merupakan bencana bagi siapa pun yang mengalami sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga, terlebih lagi jika korban adalah perempuan atau anak.

Namun kemudian, bangsa Indonesia patut merasa bersyukur dengan dikeluarkannya oleh Pemerintah Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 yang diharapkan dapat dijadikan sebagai perangkat hukum yang memadai yang didalamnya antara lain mengatur mengenai pencegahan, perlindungan terhadap korban dan penindakan terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dengan tetap menjaga keutuhan demi keharminosan keluarga. Dengan demikian, lahirnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, diharapkan penangangannya dapat dilakukan secara proporsional sebagaimana upaya perlindungan terhadap korban dan penanganan terhadap pelaku. Oleh karena, hal ikhwal kekerasan dalam rumah tangga bukan lagi menjadi sesuatu yang dianggap privat tetapi sudah menjadi isu publik. Hal ini pun sudah dijamin perlindungannya dalam konstitusi yakni Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Melihat sejarah mengapa para aktivis dan pemerhati perempuan sangat memperjuangkan lahirnya Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini mudah dipahami bahwa bukannya saja konstitusi Indonesia telah secara tegas dan jelas melindungi hak-hak asasi manusia dan perlindungan terhadap tindakan diskriminasi, namun kejadian-kejadian kekerasan dalam rumah tangga dengan berbagai modus operandinya sudah sangat memerlukan pengaturan yang memadai, termasuk perlindungan terhadap bentuk-bentuk diskriminasi hak asasi perempuan dalam rumah tangga. Amanat dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam Pasal 28 A menentukan : “ bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Pasal 28 B ayat (1) menyatakan “setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Pasal 28 B ayat (2) berbunyi : “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Pasal 28G ayat (1) menyatakan “setiap orang bebas atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang berada dibawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasinya”.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar