Oleh :
Feri Antoni Surbakti, SH.,M.H.
Pengertian kawasan hutan sebagaimana yang dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, dinyatakan kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaanya sebagai hutan tetap. Pengertian kawasan hutan tersebut berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 45/PUU-IX/2011, tanggal 09 Februari 2012 ditegaskan bahwa sepanjang frase di tunjuk dan atau telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik 1945 dan telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Sehingga ditetapkannya suatu kawasan hutan tidak lagi berdasarkan pada penunjukan, melainkan harus dilakukan melalui penetapan yang dibuat oleh Menteri Kehutanan.
Penunjukan suatu kawasan untuk dijadikan sebagai kawasan hutan tetap tanpa melalui proses atau tahapan-tahapan yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kawasan sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan merupakan pelaksanaan yang otoriter serta tidak seharusnya suatu kawasan yang akan dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap yang menguasai hajat hidup orang banyak hanya dengan dilakukan penunjukan belaka. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 170/Kpts/II/2000 tertanggal 29 Juni 2000 Tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di wilayah Propinsi Aceh pada prinsipnya hanyalah merupakan kebijakan/produk hukum yang bersifat internal di lingkungan Departemen Kehutanan saja yang tidak berimplikasi keluar sehingga tidak berlaku secara umum apalagi yang berimplikasi pada perbuatan pidana.
Terkait dengan Surat Keputusan Menhut 170/Kpts/II/2000 tertanggal 29 Juni 2000 Tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di wilayah Propinsi Aceh, maka mengacu pada Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 70/Kpts-II/2001Tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan status dan Fungsi Kawasan hutan sebagaimana yang telah dirubah berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 48/Menhut-II/2004, tanggal 23 Januari 2004 Tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 70/Kpts-II/2001Tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan status dan Fungsi Kawasan hutan, ditegaskan dalam Pasal 5 Ayat (1) yang menyatakan “ penetapan kawasan hutan adalah tahap akhir dari proses pengukuhan kawasan hutan “. Pasal 5 Ayat (2) menyatakan “ Pengukuhan kawasan hutan meliputi : Penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan”. Selanjutnya Pasal 6 Ayat (2) menyatakan “ penetapan kawasan hutan dilakukan melalui proses : (a). penyampaian berita acara tata batas (BATB) dan peta tata batas (PTB) yang telah ditanda tangani oleh panitia tata batas “, (b). penelaah hukum dan teknis terhadap berita acara tata batas (BATB) dan peta tata batas (PTB) oleh instansi eselon I terkait lingkup Departemen Kehutanan”, (c). apabila berita acara tata batas (BATB) dan peta tata batas (PTB) telah memenuhi persyaratan hukum dan teknis, maka badan planologi kehutanan menyiapkan konsep keputusan Menteri tentang penetapan kawsan hutan berserta lampirannya dengan skala 1 : 100.000, (d). Menteri menetepkan keputusan penetapan kawasan hutan beserta lampirannya.
Secara teoritis, adanya kawasan hutan yang defenitif itu, ditandai adanya penetapan dari Menteri Kehutanan dan Surat Keputusan Menhutbun Nomor : 170/Kpts/II/2000 tertanggal 29 Juni 2000 Tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di wilayah Propinsi Aceh, pada dasarnya belumlah tuntas dikarenakan suatu pengkuhan kawasan hutan harus dilakukan melalui tahapan-tahapan yang terdiri dari penataan batas kawasan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan. Tahapan-tahapan tersebut merupakan tahapan yang bersifat komulatif yang semuanya harus dipenuhi atau selesai dilaksanakan sehingga baru dinyatakan adanya kawasan hutan yang defenitif. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Disisi lain, Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 170/Kpts/II/2000 tertanggal 29 Juni 2000 Tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di wilayah Propinsi Aceh, tidak termasuk dalam hirarki tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sedangkan didasarkan pada Pasal 7 Ayat (4) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditentukan bahwa peraturan perundang-undangan selain sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi antara lain Peraturan Menteri dan bukannya Keputusan Menteri.
Pasal 12 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menentukan bahwa perencanaan kehutanan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 10 Ayat (2) huruf a meliputi : a. Iventarisasi hutan, b. Pengukuhan kawasan hutan, c. penataagunaan kawasan hutan, d. pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan e. penyusunan rencana kehutanan. Bahwa dilihat dari penjelasan Pasal 15 Ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, dijelaskan penunjukan kawasan hutan adalah merupakan kegiatan persiapan pengukuhan kawasan hutan antara lain berupa : pembuatan peta penunjukan yang bersifat arahan tentang batas luar, pemancangan batas sementara yang dilengkapi dengan lorong-lorong, pembuatan parit batas pada lokasi rawan dan pengumuman tentang rencana batas kawasan hutan terutama dilokasi-lokasi yang berbatasan dengan tanah milik.
Disamping itu, mengacu pada ketentuan Peraturan Pemerintah RI Nomor 44 Tahun 2004 Tentang Perencanaan Kehutanan telah ditegaskan pada Pasal 1 Angka 8, Pasal 1 Angka 10 dan Pasal 1 Angka 11 yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut : Pasal 1 Angka 8 menyatakan “ bahwa pengukuhan kawasan hutan adalah rangkaian kegiatan penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan dengan tujuan untuk memberikan kepastian hukum atas status, letak, batas dan luasa kawasan hutan”. Pasal 1 Angka 10 menyatakan “ Penataan batas kawasan hutan adalah kegiatan yang meliputi proyeksi batas, pemacangan patok batas, pengumuman, iventarisasi, dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga, pemasangan pal batas, pengukuran dan pemetaan serta pembuatan berita acara tata batas”. Pasal 1 Angka 11 menyatakan “penatapan kawasan hutan adalah suatu penegasan tentang kepastian hukum mengani status, batas, dan luas kawasan hutan menjadi kawasan hutan tetap”.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 170/Kpts/II/2000 tertanggal 29 Juni 2000 Tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di wilayah Propinsi Aceh, masih bersifat Penunjukan atau merupakan tahap awal yang harus di tindak lanjuti ataupun diikuti dengan tahapan-tahapan berikutnya dalam proses pengukuhan kawasan hutan. Dengan kata lain, Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 170/Kpts/II/2000 tertanggal 29 Juni 2000 Tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di wilayah Propinsi Aceh tersebut belumlah menentukan adanya suatu kawasan hutan yang bersifat FINAL dan DEFENITIF.
Dengan demikian, Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 170/Kpts/II/2000 tertanggal 29 Juni 2000 Tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di wilayah Propinsi Aceh, tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sehingga nyata tidak dapat dijadikan sebagai landasan hukum guna menentukan suatu wilayah sebagai kawasan hutan tetap yang dipertahankan keberadaanya. Terlebih lagi, Propinsi Aceh telah mengajukan rencana tata ruang Wilayah (RTRW) sesuai dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, guna menyesuaikan lahan-lahan untuk ditetapkan sebagai lahan masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat di daerah Propinsi Aceh.
Penunjukan suatu kawasan untuk dijadikan sebagai kawasan hutan tetap tanpa melalui proses atau tahapan-tahapan yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kawasan sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan merupakan pelaksanaan yang otoriter serta tidak seharusnya suatu kawasan yang akan dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap yang menguasai hajat hidup orang banyak hanya dengan dilakukan penunjukan belaka. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 170/Kpts/II/2000 tertanggal 29 Juni 2000 Tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di wilayah Propinsi Aceh pada prinsipnya hanyalah merupakan kebijakan/produk hukum yang bersifat internal di lingkungan Departemen Kehutanan saja yang tidak berimplikasi keluar sehingga tidak berlaku secara umum apalagi yang berimplikasi pada perbuatan pidana.
Terkait dengan Surat Keputusan Menhut 170/Kpts/II/2000 tertanggal 29 Juni 2000 Tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di wilayah Propinsi Aceh, maka mengacu pada Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 70/Kpts-II/2001Tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan status dan Fungsi Kawasan hutan sebagaimana yang telah dirubah berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 48/Menhut-II/2004, tanggal 23 Januari 2004 Tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 70/Kpts-II/2001Tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan status dan Fungsi Kawasan hutan, ditegaskan dalam Pasal 5 Ayat (1) yang menyatakan “ penetapan kawasan hutan adalah tahap akhir dari proses pengukuhan kawasan hutan “. Pasal 5 Ayat (2) menyatakan “ Pengukuhan kawasan hutan meliputi : Penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan”. Selanjutnya Pasal 6 Ayat (2) menyatakan “ penetapan kawasan hutan dilakukan melalui proses : (a). penyampaian berita acara tata batas (BATB) dan peta tata batas (PTB) yang telah ditanda tangani oleh panitia tata batas “, (b). penelaah hukum dan teknis terhadap berita acara tata batas (BATB) dan peta tata batas (PTB) oleh instansi eselon I terkait lingkup Departemen Kehutanan”, (c). apabila berita acara tata batas (BATB) dan peta tata batas (PTB) telah memenuhi persyaratan hukum dan teknis, maka badan planologi kehutanan menyiapkan konsep keputusan Menteri tentang penetapan kawsan hutan berserta lampirannya dengan skala 1 : 100.000, (d). Menteri menetepkan keputusan penetapan kawasan hutan beserta lampirannya.
Secara teoritis, adanya kawasan hutan yang defenitif itu, ditandai adanya penetapan dari Menteri Kehutanan dan Surat Keputusan Menhutbun Nomor : 170/Kpts/II/2000 tertanggal 29 Juni 2000 Tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di wilayah Propinsi Aceh, pada dasarnya belumlah tuntas dikarenakan suatu pengkuhan kawasan hutan harus dilakukan melalui tahapan-tahapan yang terdiri dari penataan batas kawasan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan. Tahapan-tahapan tersebut merupakan tahapan yang bersifat komulatif yang semuanya harus dipenuhi atau selesai dilaksanakan sehingga baru dinyatakan adanya kawasan hutan yang defenitif. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Disisi lain, Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 170/Kpts/II/2000 tertanggal 29 Juni 2000 Tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di wilayah Propinsi Aceh, tidak termasuk dalam hirarki tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sedangkan didasarkan pada Pasal 7 Ayat (4) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditentukan bahwa peraturan perundang-undangan selain sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi antara lain Peraturan Menteri dan bukannya Keputusan Menteri.
Pasal 12 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menentukan bahwa perencanaan kehutanan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 10 Ayat (2) huruf a meliputi : a. Iventarisasi hutan, b. Pengukuhan kawasan hutan, c. penataagunaan kawasan hutan, d. pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan e. penyusunan rencana kehutanan. Bahwa dilihat dari penjelasan Pasal 15 Ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, dijelaskan penunjukan kawasan hutan adalah merupakan kegiatan persiapan pengukuhan kawasan hutan antara lain berupa : pembuatan peta penunjukan yang bersifat arahan tentang batas luar, pemancangan batas sementara yang dilengkapi dengan lorong-lorong, pembuatan parit batas pada lokasi rawan dan pengumuman tentang rencana batas kawasan hutan terutama dilokasi-lokasi yang berbatasan dengan tanah milik.
Disamping itu, mengacu pada ketentuan Peraturan Pemerintah RI Nomor 44 Tahun 2004 Tentang Perencanaan Kehutanan telah ditegaskan pada Pasal 1 Angka 8, Pasal 1 Angka 10 dan Pasal 1 Angka 11 yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut : Pasal 1 Angka 8 menyatakan “ bahwa pengukuhan kawasan hutan adalah rangkaian kegiatan penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan dengan tujuan untuk memberikan kepastian hukum atas status, letak, batas dan luasa kawasan hutan”. Pasal 1 Angka 10 menyatakan “ Penataan batas kawasan hutan adalah kegiatan yang meliputi proyeksi batas, pemacangan patok batas, pengumuman, iventarisasi, dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga, pemasangan pal batas, pengukuran dan pemetaan serta pembuatan berita acara tata batas”. Pasal 1 Angka 11 menyatakan “penatapan kawasan hutan adalah suatu penegasan tentang kepastian hukum mengani status, batas, dan luas kawasan hutan menjadi kawasan hutan tetap”.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 170/Kpts/II/2000 tertanggal 29 Juni 2000 Tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di wilayah Propinsi Aceh, masih bersifat Penunjukan atau merupakan tahap awal yang harus di tindak lanjuti ataupun diikuti dengan tahapan-tahapan berikutnya dalam proses pengukuhan kawasan hutan. Dengan kata lain, Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 170/Kpts/II/2000 tertanggal 29 Juni 2000 Tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di wilayah Propinsi Aceh tersebut belumlah menentukan adanya suatu kawasan hutan yang bersifat FINAL dan DEFENITIF.
Dengan demikian, Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 170/Kpts/II/2000 tertanggal 29 Juni 2000 Tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di wilayah Propinsi Aceh, tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sehingga nyata tidak dapat dijadikan sebagai landasan hukum guna menentukan suatu wilayah sebagai kawasan hutan tetap yang dipertahankan keberadaanya. Terlebih lagi, Propinsi Aceh telah mengajukan rencana tata ruang Wilayah (RTRW) sesuai dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, guna menyesuaikan lahan-lahan untuk ditetapkan sebagai lahan masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat di daerah Propinsi Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar