Oleh :
Feri Antoni Surbakti, SH., M.H.
Posisi korban dalam suatu tindak pidana mengandung masalah hukum yang tidak mudah dipecahkan dari sudut hukum. Masalah kepentingan korban sejak lama sudah kurang begitu mendapatkan perhatian, hal ini dikarenakan objek perhatian masih terfokus kepada bagaimana memberikan hukuman kepada pelaku tindak pidana (tersangka/terdakwa) sehingga masalah-masalah mengenai korban tindak pidana luput dari perhatian.
Di lihat dari Ideologi negara kita yang berdasar hukum, negara kita memandang komitmen bahwa setiap orang harus diberlakukan baik dan adil, apakah ia dalam posisi sebagai pelaku tindak pidana atau sebagai korban tindak pidana. Perikemanusiaan sebagai salah satu sendi nilai falsafah negara Pancasila, yang menjiwai seluruh keberadaan hukum di Negara kita, mulai dari UUD 45 hingga kepada peraturan perundang-undangan.
Namun, apakah penyelenggaraan hukum melalui produk peraturan perundang-undangan sudah benar-benar melakukan hal yang demikian. Hal inilah yang perlu dikaji kembali khususnya terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang merupakan landasan dasar dari penyelenggaraan sistem peradilan pidana.
Masalah yang muncul dan masih merupakan persoalan klasik, bahwa sistim peradilan pidana sebagai basis penyelenggaraan perkara pidana tidak mengakui eksistensi korban sebagai pencari keadilan. Memang, jika kita lihat kepentingan korban telah terwakili oleh alat negara yaitu polisi dan jaksa baik sebagai penyelidik, penyidik dan penuntut umum. Akan tetapi hubungan korban tindak pidana, disatu pihak dengan polisi dan jaksa tersebut hanyalah merupakan hubungan yang bersifat simbolik sementara hubungan antara pelaku tindak pidana (terdakwa) dengan penasihat hukum terdakwa secara prinsip adalah murni hubungan hukum antara pengguna jasa hukum dengan pemberi kuasa yang diatur dalam hukum perdata dan penasihat hukum bertindak langsung untuk dan atas nama pelaku tindak pidana. Sedangkan Polisi dan Jaksa, sekalipun dalam hal ini telah mewakili kepentingan korban tindak pidana tetapi disini kedudukan Polisi dan Jaksa bertindak semata-mata hanya menjalankan tugas negara.
Melihat kenyataan yang demikian inilah, sudah sepatutnya perlu untuk dikaji kembali terhadap sistem peradilan pidana kita yang harus dilihat dari optik kepentingan yang lebih luas bukan saja menekankan kepada kepentingan pelaku tindak pidana melainkan juga menyeluruh kepada kepentingan korban tindak pidana. Karenanya perlindungan hukum yang diberikan oleh KUHAP, lebih banyak melindungi hak-hak asasi pelaku daripada hak-hak atau kepentingan korban tindak pidana. Artinya, sistem yang dianut oleh KUHAP masih bersifat restributif justice dan bukannya bersifat restorative justice.
Kepentingan Korban Dilihat Dari Viktomologi
Masalah kepentingan korban tindak pidana, pada prinsipnya merupakan bagian integral dari persoalan hak asasi manusia pada umumnya. Prinsip universal sebagaimana yang termuat dalam The Universal Declaration of Human Rights, mengakui bahwa semua orang adalah sama terhadap undang-undang dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa pengakuan diskriminasi apapun.
Dari prinsip Hak Asasi Manusia diatas, terdapat nilai-nilai yang mengandung hak-hak korban dari tindakan perlakuan pelanggaran hukum. Hak-hak korban tersebut diantaranya : (1) korban berhak mendapatkan kompensasi/restitusi, (2) berhak menolak kompensasi untuk kepentingan pelaku kejahatan, (3) berhak mendapatkan rehabilitasi/pembinaan, (4) berhak menolak menjadi saksi bila membahayakan dirinya atau keluarganya, (5) berhak mendapatkan perlindungan dari ancaman pelaku kejahatan, dan (6) berhak mempergunakan upaya hukum.
Perkembangan hak-hak korban secara viktomologi, tergantung dari ketanggapan suatu negara guna merespon hukumnya kepada kepentingan-kepentingan hak asasi manusia dari korban tindak pidana. Viktomologi sendiri, adalah studi ilmiah yang mempelajari masalah korban tindak pidana sebagai suatu kenyataan sosial. Viktomologi pada dasarnya merupakan bagian dari kriminologi yang merupakan studi ilmiah yang mempelajari pelaku tindak pidana.
Aspek viktomologi dalam hukum nasional, dapat dilihat terutama dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Peradilan HAM. Dalam mengimplementasikan peraturan perundang-undangan tersebut, telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2000, Tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi terhadap korban pelanggaran HAM berat.
Bila dicermati lebih kritis, pengaturan yang dituangkan dalam peraturan pemerintah diatas masih belum begitu eksplisit merujuk pada viktomologi yang berdimensi korban tindak pidana. Sebab, bila dilihat mengenai perumusan tentang pengertian korban sebagaimana yang dimuat Pasal 1 butir 3, korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi atau mengalami pengabaian pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat termasuk korban adalah ahli warisnya.
Persoalannya, adalah apakah masalah kepentingan korban tindak pidana biasa termasuk kedalam persoalan HAM. Karena jika termasuk demikian maka korban-korban tindak pidana termasuk pula sebagai kompetensi peradilan HAM. Masalah ini perlu mendapat kajian khusus supaya pengertian korban seperti ini mendapatkan kedudukan yang jelas dalam persfektif hukum.
Usaha untuk memperdayakan korban tindak pidana dalam sistem peradilan pidana diharapkan pada masalah yang mendasar yakni eksistensi dan posisi korban tindak pidana dalam sistem peradilan pidana itu sendiri. Selama ini jika disebut sebagai korban, bahwa korban hanya dilihat sebagai saksi korban. Artinya korban bukan merupakan bagian dari sistem peradilan pidana seperti halnya terdakwa. Akibatnya korban tidak mempunyai upaya hukum apabila ia keberatan terhadap putusan pengadilan yang dirasakan tidak adil bagi dirinya atau merugikannya. Sedangkan Jaksa selaku penuntut umum tidak merespon ketidakpuasan korban tindak pidana tersebut, dengan tidak mengajukan upaya hukum.
Apabila ditelusuri lebih jauh, bahwa perumusan ini pun masih mengalami jalan yang tidak mulus, sebab diwarnai pro dan kontra terutama mengenai masalah masuknya kepentingan korban tindak pidana dalam sistem proses pidana akan mempersulit dan tidak akan sesuai dengan prinsip keadilan yang cepat dan murah serta sederhana.
Kepentingan korban pada kenyataannya kurang mendapatkan perhatian yang serius dan sepertinya terlupakan, padahal dalam suatu tindak pidana tidak akan lepas adanya objek korban. Sebab, korban sudah dipastikan mempunyai kedudukan fungsional dalam terjadinya kejahatan sebagai pihak yang menderita kerugian baik materi dan psikologis sehingga sudah selayaknya kepentingan hukumnya ditempatkan dengan baik dan menurut proporsi yang sebenarnya.
Kepentingan Hukum Korban Di Tinjau Dari KUHAP
Apabila kita lihat mengenai hak-hak korban tindak pidana dalam KUHAP, maka didapati pengaturan mengenai hak-hak korban yang begitu minim sekali jika dibandingkan dengan pengaturan tentang hak-hak pelaku kejahatan. Dengan kata lain, bahwa perlindungan hukum lebih banyak diatur untuk pelaku tindak pidana sebagaimana yang kita lihat dalam KUHAP itu sendiri dibandingkan dengan kepentingan korban yang mengalami penderitaan dari perbuatan tindak pidana itu.
Sebagai contoh, dalam sebuah putusan Mahkamah Agung RI No. 2107 K/Pid/1987 dalam perkara penganiayaan dimana Mahmakah Agung RI telah membatalkan Putusan hakim yang sebelumnya yang menjatuhkan terdakwa dengan putusan bersyarat berupa mengganti biaya ongkos opname yang dikeluarkan korban. Pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusannya tersebut di dasarkan pada Pasal 98 KUHAP dimana korban tidak mengajukan tuntutan ganti rugi.
Dari Putusan Mahkamah Agung tersebut, maka ada beberapa hal yang dapat dicatat yaitu pertama, Mahkamah Agung tidak dapat membantu posisi korban dalam putusannya karena didasarkan pada legalitas, dan kedua, Mahkamah Agung dalam putusannya tidak bisa keluar dari prosedur hukum yang teah digariskan oleh KUHAP sehingga kepentingan korban terbatas dengan apa yang telah ditentukan oleh KUHAP itu sendiri.
Disisi lain, dari segi upaya hukum pun korban tindak pidana di dalam perkara penggabungan perkara ganti kerugian sangat tidak diuntungkan dikarenakan apabila korban tindak pidana tidak puas atas putusan pengadilan negeri mengenai tuntutan ganti rugi. Korban tindak pidana tidak dapat mengajukan upaya hukum banding bilamana Jaksa Penuntut Umum tidak mengajukan banding terhadap putusan Pengadilan Negeri tersebut ( Pasal 100 ayat (2) KUHAP ).
Sebenarnya, minimnya suatu peraturan perundang-undangan menurut teori dapat ditempuh dengan bantuan yurisprudensi. Namun dalam praktek dilapangan, tidak selamanya yurisprudensi tersebut diberlakukan, sebab di Indonesia yurisprudensi tidak bersifat mengikat. Jadi hal itu tergantung pada masing-masing hakim apakah yurisprudensi diberlakukan di dalam putusannya atas perkara yang dihadapkan kepadanya untuk dijadikan sebagai dasar hukum atau tidak.
Banyaknya hak korban dalam konteks hukum acara yang belum diatur dan bahkan pengaturannya yang kembali merugikan kepentingan korban sehingga posisi korban yang sudah menjadi korban dalam suatu tindak pidana, pada proses penegakan hukumnya kembali menjadi korban dan menderita kerugian. Untuk itu perlu ada pengaturan hukum dalam kaitannya dengan hukum acara yang lebih jelas dan tegas guna mengakomodir kepentingan hukum korban.